top of page
Writer's pictureIma Sri Rahmani

Mereka yang 'terpaksa' datang di Paris





Paris, menjadi impian banyak orang untuk dikunjungi. Berharap untuk datang karena keindahan dan suasana kotanya yang 'katanya' romantis. Kota yang identik dengan menara yang menjulang tinggi hasil karya anak negerinya sendiri. Dikenal karena kehandalannya yang selalu melahirkan pemikir terkenal sepanjang masa di sebuah universitas yang sangat terkenal di tanah air, Sorbonne. Setidaknya, itulah bayangkan kota Paris ketika saya pertama kali menginjak di Bandara Charles de Gaule satu tahun yang lalu.

Kini, setelah satu tahun berlalu. Bayangan masa lalu tentang Paris masih membekas.Malah semakin kuat. Satu hal yang membuat saya terkagum kagum hingga saat ini adalah usaha keras masyarakatnya untuk konsisten dengan falsafah yang mereka junjung tinggi : egalite, liberte dan fraternite.

Kami tinggal di wilayah 18. Wilayah di mana banyak sekali pera pendatang tinggal dan bermukim bertahun tahun lamanya. Mereka tak hanya datang negara negara bekas jajahan Perancis seperti Aljazair,Tunisia dan beberapa negara Afrika. Tapi juga pendatang dari wilayah arab lainnya seperti Turki dan Mesir juga dari wilayah Asia seperti Cina, Filipina, Kamboja, Vietnam, Banglades, Srilanka, Pakistan dan India. Bahkan tak sedikit juga mereka yang datang dari beberapa negara pecahan Rusia, seperti Chechnya. Saya tidak menuliskan Indonesia sebagai salah satu diantaranya karena pada umumnya orang Indonesia datang di sini tidak untuk berganti warga negara. Tapi untuk sekedar bekerja atau karena menikah dengan orang Perancis. Setidaknya itu adalah pengamatan saya. 

Pada umumnnya para pendatang berasal dari negara miskin atau berkembang. Jadi dapat diterka, tentu mereka datang dengan keterbatasan kemampuan berbahasa dan pendidikan. Mereka datang mengandalkan relasi yang sudah ada sebelumnya. Bekerja di sini sebagai buruh bangunan atau pembantu rumah tangga. Tapi jangan berfikir negatif dahulu. Karena buruh bangunan dan pembantu rumah tangga di sini sungguh berbeda dengan di Indonesia.

Keterbatasan dalam kemampuan berbahasa pula yang akhirnya mempertemukan saya dengan kawan kawan saya dari bergai negara. Di sana pula saya tahu sedikit tentang keseharian mereka dan sejarah kedatangan mereka di Paris. Dan, tak satupun dari mereka yang datang dengan sukarela. Mereka datang dengan terpaksa... dan terpaksa pula memilih  berganti warga negara.

Saya sungguh beruntung. Karena tak jauh dari tempat tinggal saya ada sebuah lembaga sosial yang memberikan pelatihan bahasa bagi para pendatang. Tak mahal. Saya hanya membayar 20 euro untuk satu semester (6 bulan), dan jika saya ingin melanjutkan untuk semester selanjutnya saya tinggal membayar kembali sejumlah 20 euro.Kelas kursus bahasa ini dikhususkan bagi Perempuan. Saya sangat senang, karena akhirnya saya mendapat banyak kawan untuk sekedar ngobrol dan bertukar kabar.

Paris terbagi menjadi 20 wilayah pemerintahan. Dan sesungguhnya di setiap wilayah, pemerintahan setempat memiliki program pelatihan bagi masyarakatnya. Tak hanya untuk belajar bahasa Perancis, tapi juga tawaran untuk belajar bahasa yang lainya. Ada pula tawaran untuk pelatihan berbagai keterampilan : memasak, informatika, aplikasi seni dan komunikasi, dan masih banyak lagi. Tapi, untuk mendapatkan satu tempat di sini dibutuhkan surat ijin tinggal.Ini juga yang menyebabkan sebagian besar kawan kawan saya tidak dapat belajar bahasa Perancis di sini.

Sungguh, awalnya saya berfikir bahwa semua pendatang yang tertangkap basah tanpa surat lengkap akan dipenjarakan. Karena begitu yang saya lihat di Tanah Air. Kenyataannya yang saya lihat di sini sungguh berbeda. Karena pada umumnya kawan kawan saya yang belajar di lembaga sosial datang di Perancis tanpa surat surat lengkap alias pendatang gelap.

Hal ini saya ketahui ketika pada suatu hari datang di tempat kami belajar bahasa Perancis seorang petugas pengurus surat ijin tinggal. Rupanya lembaga sosial ini sedang melakukan survei mengenai keberadaan pendatang gelap di Paris. Dengan sopan dan elegan seorang wanita berambut pendek pirang dengan kacamata tipis dan syal merah di lehernya ini memperkenalkan diri. Menanyai satu persatu aktifitas kami dan tempat kami tinggal saat ini. Terutama suka duka kami untuk mendaptkan ijin tinggal di Paris.  Dia menjelaskan dengan sangat perlahan lahan tujuan kedatangannya menemui kami. "Jika Anda mendapatkan kesulitan silahkan menghubungi direktur lembaga ini atau Anda dapat mengubungi saya di sini", begitu dia mengakhiri pertemuan sambil menuliskan nomor telepon dan alamatnya.

Kaget?

Tentu saja. Setidaknya ada dua hal yang membuat saya kaget :1) Karena baru tahu ternyata tak sedikit dari kawan saya yang tak memiliki ijin tinggal, 2) Karena sikap baik petugas pengurus ijin tinggal kepada kami. Dia sungguh berusaha untuk memahami karena tak mudah mengurus ijin tinggal di sini. Jangankan mereka yang tak fasih berbahasa Perancis. Suami saya yang sudah lebih dari tiga tahun tinggal di sini pun masih sering kali dibuat pusing karena ketatnya persyaratan.

"Kok mereka nekat sekali yah?".

"Apa mereka tidak takut di penjara dan dihukum jauh di negeri orang?".

Pertanyaan tersebut membuat saya penasaran. Akhirnya saya membangun hubungan baik untuk mencari tahu sejarah kedatangan mereka di Paris. Dan satu persatu cerita mengharukan itupun terurai....

Ming dari Kamboja.

Ming, sebut saja begitu. Adalah orang yang pertama kali memberi perhatian besar pada saya. Perempuan berusia 60 tahunan ini sudah lebih dari 25 tahun tinggal di Perancis. Tak sengaja kami duduk berdampingan. Dia kesulitan dalam menulis. "Ini sudah lebih baik, sebelumnya saya tidak bisa menulis....", begitu dia menjelaskan dengan kata yang terbata bata. Saya paham karena sebagian besar bahasa yang dia pergunakan adalah bahasa tangan.

Ya, di sini tak hanya diajarkan bahasa Perancis. Tapi juga diberikan materi belajar mengeja dan menulis. Karena tak jarang dari siswa yang tidak tahu sama sekali huruf latin. Terutama mereka yang datang dari Cina dan Arab. Antara percaya dan tidak percaya. Saya melihat seorang guru mengajarkan salah satu dari kami merangkai huruf.

Pada awalnya saya merasa bosan. Karena materi pelajaran kami tak pernah berkembang. Terutama untuk madame Ming ini. Setiap kali berganti pembahasan mukanya akan langsung berubah. Apalagi kalau mengenai grammer. Tak jarang dia langsung memasukan kembali buku buku dan memilih untuk pulang. Dengan alasan ada janji ketemu dengan seseorang.

"Gurunya?"

Hehehe... semua guru tampaknya sudah paham sekali. Mereka hanya senyum dan berharap madame Ming akan datang kembali di kelas esok harinya.

Nah, karena saya selalu membantu dia dalam mengerjakan soal soal di kelas madame Ming menjadi begitu baik pada saya. Dia selalu mengambilkan dan menyimpan satu kertas tugas bila saya berhalangan hadir. Dia juga yang menyiapkan satu kursi untuk saya dan melarang siapapun untuk duduk di sana.

"Bagi saya....?". Sungguh berkah! Karena terkadang saya terlambat datang atau karena satu alasan saya harus absen.

Kata yang pertama kali dia ucapkan setelah duduk adalah LELAH. "Je suis fatigue", begitu dia berujar sambil membuka jaket dan mengeluarkan pensil dan kertasnya. Tanpa diminta dia akan terus bercerita. "Saya kesal dengan anak anak saya, saya ingin mereka segera keluar dari rumah saja... capek saya seharian melayani mereka... padahal mereka sudah besar besar ". "Berapa usia anak Anda madame?", saya bertanya sambil berusaha empati. Dia menjawab dengan memperlihatkan jari jarinya, " Yang pertama 27 tahun, yang kedua 24  tahun dan yang ketiga 19 tahun". Di usianya yang ke 60 Madame Ming masih tampak bugar. Masih segar dan tampak semangat untuk belajar.

"Mengapa harus Anda yang melakukan semuanya, bukankah anak Anda sudah besar?", saya bertanya penasaran.

"Ya, ini kesalahan saya. Dahulu suami saya sangat memanjakan mereka. Dia juga sangat mencintai saya. Suami saya selalu memberikan segala keinginan saya. Dia mempunyai pekerjaan yang bagus. Tapi setelah dia meninggal semuanya berubah. Suami saya meninggal lima tahun yang lalu." Wajahnya tampak sedih, matanya berkaca kaca. "Jangan bilang bilang yach... sttt... ini rahasia... saya hanya bicara sama kamu... suami saya meninggalkan warisan untuk saya... dan anak anak tidak tahu...". Dia menarik saya dan setengah berbisik berbicara dikuping saya.

"Apa pekerjaan suami Anda...?", saya bertanya lagi.

"Saya tidak terlalu tahu. Tapi setelah kedatangan kami di Perancis keadaan kami lebih baik. Dahulu di kampung saya bekerja di ladang gandum. Saya memotong gandum dari pagi sampai sore. Lihat tangan saya... ini sakit sekali. Kami datang ke Perancis karena perang. Suami saya diusir. Waktu itu anak anak masih kecil kecil". Tampak luka luka disekitar kuku jari jarinya. Ujung kulit jarinya tampak mengeras dengan kuku kuku yang tumbuh tak normal. Sepertinya madame Ming dulu melakukan pekerjaan kasar.

Keakraban saya dengan madame Ming terus berlanjut hingga kini. Walaupun tidak seakrab sebelumnya, tapi kami masih saling berbagi cerita. Terutama kisah manisnya bersama suami tercinta. Saya berusaha untuk tidak terlalu dekat. Karena saya harus berbagi perhatian pada pelajaran dibanding ceritanya yang panjang dan sulit untuk dihentikan. Kendati demikian madame Ming sungguh berkesan di hati saya, karena hanya pada dia bisa berkata jujur bahwa suatu ketika saya  lupa mengganti atasan pakaian saya... saya masih memakai kaos tidur di dalam kelas!. "Madame saya lupa... masih memakai kaos tidur... setelah mandi saya lalu masak... saya lupa ganti baju...", begitu saya berbisik. Dia hanya cekikikan sendiri. "Gak apa apa... yang penting baju kamu gak bau... kamu pasti lupa karena repot ngurusin anak anak... saya juga begitu", dia menjawab sambil menahan ketawa karena takut terdengar oleh guru dan kawan kawan yang lain.

Hingga saat ini madame Ming masih direpotkan oleh urusan anak anaknya yang tak mau lepas darinya. Mereka kini sudah tidak sekolah dan sedang mencari pekerjaan.

Lain cerita Madame Ming, lain pula cerita kawan saya yang dari Somalia... seorang wanita muda yang kini hidup sebatang kara. Semua keluarganya tewas terbunuh akibat perang. Satu yang tersisa adalah pamannya yang kini masih tinggal di Somalia dengan suka dukanya.

Silahkan simak di catatan berikutnya...:))

Paris 29 Januari 2011

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh NGO yaitu memperkenalkan wilayah di mana para immigrant tinggal.



32 views0 comments

Comments


bottom of page