top of page
Writer's pictureIma Sri Rahmani

Islamofobia ? (1) Catatan dari Caroline Fourest & Fiammetta Venner

Updated: Jun 5




Debat islamofobia di Perancis dapat dimulai melalui satu artikel sederhana tapi penting berjudul ‘Islamophobie?’. Artikel yang ditulis oleh Caroline Fourest & Fiammetta Venner ini terbit di dalam sebuah jurnal yang berjudul ProChoix (No°26–27, Musim gugur, 2003).

Mengapa catatan mereka ini menjadi penting untuk diketahui? Karena jika anda ingin menelaah isu islamofobia di Perancis, kedua penulis ini akan menjadi bagian penting di dalam sirkulasi isu dan kata islamofobia baik di media maupun di dalam catatan ilmiah dan akademik.


Sayang sekali, artikel ini sudah tidak dapat ditemukan di website karena ditarik dari peredaran oleh penulisnya. Dan, justru karena fakta ini yang kemudian menjadikan artikel ini sebagai sumber penting untuk memahami dinamika islamofobia di Perancis.

Saya akan mencoba untuk menyajikan artikel tersebut dengan menyadur berdasarkan tema utama yang disampaikan di dalam artikel berdasarkan salinan artikel yang saya miliki.


Sejarah Kemunculan kata Islamofobia versi Fourest & Venner


Mereka berkeyakinan bahwa kata ‘islamofobia’ pertama kali digunakan pada tahun 1979 oleh para Mullah di Iran. Kata ini digunakan sebagai bentuk tuduhan kepada para perempuan di Iran yang menolak menggunakan jilbab. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa sematan ‘islamofobia’ kemudian digunakan sebagai sebutan bagi peremuan yang menolak berjilbab sebagai kelompok ‘muslim yang tidak baik’.


Selanjutnya mereka berpendapat bahwa fenomena ini muncul kembali di London bersama dengan munculnya novel ‘Ayat — ayat syaitan’ karya Salman Rushdie. Kali ini, tindakan ini dilakukan oleh sebuah organisasi yang dikategorikan oleh Fourest & Venner sebagai sebuah asosiasi Islamis : Al Muhajiroun dan Komisi Hak Asasi Manusia Islam (la Islamic Human Right Commission). Kedua organisasi ini disinyalir oleh Fourest & Venner tengah mengumpulkan berbagai informasi terkait novel tersebut yang menurut mereka dianggap telah melanggar hak — hak Tuhan (le abus des droits de Dieu).


Mengapa secara konseptual Islamophobia dianggap bermasalah?


Seruan ‘war on terror’ setelah serangan 9/11 dan serangkaian serangan teroris tampak berbanding lurus dengan meningkatnya isu rasisme di Eropa, tak terkecuali di Perancis. Islam sebagai agama, menjadi bagian dari target kritik. Di dalam konteks inilah ‘islamofobia’ kemudian muncul menjadi bagian dari perdebatan yang sangat penting dalam isu rasisme. Kesimpulan ini setidaknya dapat kita peroleh salah satunya dari artikel yang ditulis oleh Fourest and Venner ini.


Di dalam artikelnya ini mereka menduga adanya upaya untuk mengubah konsep ‘rasisme’ menjadi ‘islamofobia’. Di dalam prosesnya, mereka berpendapat bahwa konsep ‘islamofobia’ memainkan peran penting dalam menciptakan kerancuan politik di tengah — tengah masyarakat. Mereka melihat situasi ini sebagai hal yang sangat mendesak karena konsep ini memiliki dua mata pedang yang saling bertolak belakang yaitu di satu sisi dapat digunakan untuk memerangi rasisme (yang dilakukan oleh kelompok anti — rasisme), dan di sisi yang lain konsep ini dapat digunakan untuk membungkam kritik sekuler terhadap Islam (yang dilakukan oleh kelompok islamis). Bagaimana hal ini dapat terjadi?


Sebagai sebuah pengantar Fourest dan Venner mengawali artikel mereka dengan mengutip kalimat sebagai berikut,


Le mot “Islamophobia” a été pensé par les islamistes pour piéger le débat et détourner l’antiracisme au profit de leur lutte contre le blasphème. Il est urgent de ne plus l’employer pour combattre à nouveau le racisme et non la critique laïque de l’islam.*

Ada tiga dugaan menarik yang diangkat di dalam pernyataan tersebut yang menjadikan konsep ‘islamofobia’ sebagai isu yang penting di dalam wacana rasisme. Pertama, sebuah dugaan bahwa konsep ‘islamofobia’ diciptakan oleh ‘kelompok islamis’. Dugaan kedua adalah bahwa kata ini digunakan sebagai jebakan yang digunakan oleh ‘kelompok islamis’ di dalam perdebatan dalam isu ‘anti — rasisme’. Dugaan ketiga adalah bahwa ‘kelompok islamis’ menggunakan term ini sebagai bagian dari upaya mereka dalam perjuangan mereka melawan ‘penistaan’ terhadap agama (blasfemi).


Jadi, secara garis besar konsep islamofobia dipahamai memiliki kaitan erat dengan keberadaan kelompok ‘islamis’ menjadi bagian penting di dalam debat anti — rasisme karena dugaan tentang misi kelompok ini dalam perlawanan terhadap Blasfemi (penistaan terhadap agama). Fourest dan Venner menduga, bersama dengan konsep islamofobia, ketiga elemen ini mampu mereduksi persoalan kerudung perempuan menjadi sebuah persoalan rasisme dan bukan lagi persoalan ‘intégrisme’ (fundementalisme) yang jelas melekat pada persoalan agama.


Sebagai dampaknya, alih — alih mampu menunjukan satu jenis rasisme, secara konseptual islamofobia justru dianggap dapat ‘mendiskualifikasi’ kelompok masyarakat (termasuk di dalamnya adalah masyarakat feminis dan muslim liberal) yang menentang cara keberagamaan kelompok muslim yang mereka sebut sebagai ‘kelompok fundamentalis’. Di dalam hal ini, secara eksplisit, Fourest dan Venner tampak memiliki kesamaan pandangan dalam isu fundamentalisme dengan kelompok feminis dan muslim liberal.


Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa secara konseptual, ‘islamophobia’ dapat memberikan kesan adanya ‘generalisasi’ bahwa ‘seolah-olah’ semua orang Prancis yang berasal dari Afrika Utara adalah Muslim (beragama Islam), dan ‘seolah-olah’ berbagai persoalan ‘isolasi’ masyarakat di pinggiran kota di Perancis merupakan masalah ‘pertikaian’ yang disebabkan karena ‘isu agama’.


Kritik Terhadap Pemerintah


Kerancuan politik yang dibawa bersama konsep islamofobia menurut Fourest and Venner telah berdampak cukup signifikan terhadap dinamika masyarakat dan politik di Perancis saat itu. Cara pandang yang keliru terhadap ‘islamophobia’ telah menempatkan Taliban sebagai ‘korban’ pertama islamofobia.


Sementara itu, mereka yang paling sering dituduh sebagai islamifobik adalah Salman Rusdie dan Taslima Nasreen. Padahal menurut pendapat mereka, upaya perang melawan islamofobia yang paling tepat adalah justru dengan melakukan perlawanan terhadap berbagai tindakan pelanggaran moral yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis khususnya di dalam isu homoseksualitas, perzinahan, penistaan agama, dan lain sebagainya.


Setidaknya ada beberapa nama yang muncul menjadi target dan kritikan di dalam artikelnya. Diantaranya adalah Nicolas Sarkozy, Jean — Pierre Raffarin dari MRAP (Mouvement contre le Racisme et pour l’Amitié entre les Peuples) dan Claude Imbert dari Le Point. Dengan kata lain, kita dapat menduga bahwa pandangan politik kedua penulis ini tampak bertolak belakang dengan tokoh — tokoh masyarakat tersebut.


Selain itu mereka juga mengkritik pembentukan organisasi Conceil Français du Culte Musulmane yaitu sebuah dewan peribadatan yang dikhususkan bagi masyarakat Perancis yang mereka nilai sebagai organisasi ‘artificielle’.


Mereka juga mengkritik organisasi UOIF yang dianggap justru menyatukan Muslim liberal (les musulmans liberaux) dan muslim ekstrimis (les musulmans extrémistes) ke dalam satu wadah yang menurut mereka justru dapat memberikan dampak buruk karena membuat keduanya menjadi sulit untuk dibedakan. Bahkan di paragraf selanjutnya, Fourest dan Venner menyebut organisasi ini sebagai,


“une organisation dont le Conseil européen de la Fatwa approve les attentats kamikaze”

Yaitu sebuah organisasi yang mereka yakini memiliki kontribusi terhadap aksi bom bunuh diri dan mendapat persetujuan Dewan Fatwa Eropa. Tentu ini adalah sebuah tuduhan yang sangat serius. Saya menduga, bagi Fourest dan Venner, UOIF membuat keberadaan kedua kelompok ini menjadi ‘rancu’ yang justru seharusnya organisasi ini dapat membantu masyarakat untuk dapat membedakan kelompok Muslim yang dianggap ‘tidak fundamental’ dan ‘fundamental’.


Mereka juga beranggapan bahwa keberadaan kedua organisasi tersebut dapat memberikan jalan bagi masyarakat Muslim untuk lebih mudah mendapatkan referensi dari para imam sebagai sumber pengetahuan utama bagi persoalan sosial yang tengah mereka hadapi. Lebih jauh lagi, hal ini juga dapat memberikan kesan bahwa seolah olah Kementrian Dalam Negeri memberikan peluang bagi masyarakat untuk ‘kembali kepada agama’ dan membuka peluang bagi mereka untuk menjadi ‘fundamental’ karena menjadikan agama sebagai satu — satunya solusi untuk dapat keluar dari ‘pengucilan sosial’ yang mereka hadapi.


Mereka juga mengklaim telah mendeteksi adanya pergerakan aktivitas politik dari beberapa partai politik di Perancis di dalam isu islamofobia ini. Diantaranya adalah ‘parti politik sayap kiri’ termasuk juga ‘aktivis anti-rasis’ yang kini mereka temukan cukup banyak turut ambil bagian di dalam kerancuan ini yang diantaranya adalah dengan menjadikan isu jilbab sebagai masalah “rasisme” bukan sebagai masalah “fundamentalisme”.


Mereka berpendapat bahwa kedua kelompok aktivis ini menyerahkan idealisme mereka dengan berpandangan bahwa adalah tidak mungkin menjadi ‘anti — rasis’ dan ‘mengkritik terhadap interpretasi al Quran yang seksis’ secara bersamaan. Mereka menduga, hal ini dilakukan karena para aktivis tersebut ketakutan untuk mendapatkan cap sebagai ‘islamofobia’.


Mereka juga mengkomentari tentang kelompok aktivis yang mereka sebut sebagai ‘aktivis sekuler’. Mereka melihat, bahwa aktivitas para aktivis ini akan langsung dicurigai sebagai rasis karena keengganan dan penolakan mereka terhadap berbagai tanda keagamaan yang ‘mencolok’ dan berbagai sumber bacaan yang mereka kategorikan sebagai “diktat keagamaan ekstremis”.


Fundamentalisme Kristen dan Fundamentalisme Islam


Ada hal yang menarik yang saya temukan di dalam artikel ini yaitu analisis mereka terhadap gerakan perlawanan fondamentalisme yang terjadi di kalangan masyarakat Kristen, AGRIF (L’Alliance générale contre le racisme et pour le respect de l’identité française et chrétienne). Mereka berpendapat bahwa di bawah kepemimpinan Bernard Antony (FN), dianggap memiliki strategi yang jauh lebih efektif khususnya di dalam upaya untuk melawan penistaan terhadap agama dalam kasus film yang disutradari oleh Martin Scorsese yang pada akhirnya menuntut hal yang kurang lebih sama yaitu tuduhan ‘rasisme anti — Kristen’ terhadap Scorsese.


Lalu apa yang membedakan tuduhan blasfemi AGRIF dengan tuduhan blasfemi yang menurut mereka telah dilakukan oleh kelompok islamis?Fourest dan Venner berpendapat bahwa yang membedakan pendekatan dari kedua tuduhan blasfemi adalah reaksi yang muncul dan dihadapi kemudian oleh masyarakat. Bahwa tidak ada satupun orang yang merasa tertipu ketika AGRIF melayangkan tuntutan “rasisme anti — Kristen” terhadap film yang dibuat oleh Scorsese karena menurut mereka, semua orang sudah tahu bahwa tujuan utama tuntutan “rasisme anti — Kristen” yang dilakukan oleh AGRIF adalah upaya untuk memerangi segala jenis kritik terhadap agama.


Berdasarkan observasi mereka, situasi yang tidak sama ketika tuntutan tersebut dilakukan atas nama “Islamofobia” (baca : bukan rasisme anti — Islam/Muslim). Mereka menduga, penggunaan konsep “islamofobia” dapat menipu semua orang. Untuk mendukung argumentasinya, Fourest dan Venner memberikan penjelasan bahwa setelah berhasil menarik perhatian berbagai lembaga anti rasis di Inggris, konsep ini kemudian digunakan dan disebarkan di masyarakat sayap kiri di Perancis oleh Tariq Ramadhan. Mereka berpendapat bahwa Tariq Ramadhan memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut karena posisinya sebagai seorang Muslim ‘reformis’ fundamentalis dan seorang ‘aktivis Dunia Ketiga’ di Perancis.


Atas argumentasi ini mereka berkeyakinan bahwa Tariq Ramadhan telah berhasil menggunakan konsep ‘islamophobia’ untuk menjebak perdebatan dalam isu rasisme sehingga secara sistematis dapat menempatkan mereka yang berani untuk menentang berbagai bentuk penafsiran Islam yang radikal pada posisi ‘tertuduh’. Tampaknya, Fourest dan Venner ingin sekali menekankan perbedaan antara ‘kritik terhadap penafsiran Islam yang radikal’ dengan ‘blasfemi’ dan ‘tindakan rasis’.


Bahkan mereka menilai bahwa apa yang telah dilakukan oleh Tariq Ramadhan jauh lebih baik (pengaruhnya) dari sebuah fatwa sekalipun. Pernyataan ini secara tidak langsung menempatkan Tariq Ramadhan sebagai bagian dari kelompok Muslim dengan penafsiran Islam yang radikal yang membawa semangat gerakan ‘anti rasisme Islamophobia’ dari Inggris ke Perancis.


“Il piège nos débats mettant systématiquement en situation d’accusés, mieux que ne l’aurait fait une fatwa”

Fasilitator Islamophobia di Perancis : dari Konsep ke Fenomena Islamophobia


Dari penjelasan di atas kita dapat menarik benang merah bahwa tuduhan ‘islamofob’ pada saat itu (yaitu tahun 2003, ketika artikel tersebut terbit) tampak menjadi persoalan baru di dalam isu rasisme di Perancis. Islamophobia sebagai sebuah konsep kemudian menjadi sebuah fenomena yang tampak dilematis yang dialami oleh kelompok masyarakat yang kritis terhadap berbagai nilai yang dibawa oleh sebuah agama.


Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Fourest dan Venner, hal ini dapat terjadi karena keberadaan, apa yang mereka sebut sebagai, “fasilitator Islamophobia”. Dengan merujuk pada buku yang ditulis oleh Vincent Gesser berjudul ‘La Nouvelle Islamophobie’, mereka menjelaskan bahwa lingaran fasilitator tersebut sudah bulat (la bouclée est bouclée) karena para fasilitator islamofobia yang berasal dari latar belakang profesi yang berbeda tersebut yang saling terhubungkan. Termasuk di dalamnya adalah asosiasi SOS Rasisme, rektor universitas, imam ‘liberal’ yang dianggap dekat dengan Masjid paris, dan jurnalis investigasi dalam isu terorisme Islam.


Mereka berpendapat bahwa keberaadaan “fasilitator islamofobia” berpengaruh terhadap keberanian kelompok masyarakat yang hendak menyampaikan kritik terhadap berbagai elemen agama Islam seperti mengkritik dan menentang cadar atau interpretasi keberagamaan yang mereka anggap sebagai kuno. Karena setiap kritikan dan penentangan akan mendapatkan cap sebagai ‘islamofobia’. Kekecewaan ini setidaknya dapat disimpulkan dari pernyataan mereka,


“…hier encore, à l’occasion de l’affaire Rushdie ou Scorsese, la presse et les associations de droits de l’homme se soudaient pour dire non aux ‘croisés de l’ordre moral’ que sont les intégristes…Aujourd’hui, c’est tout le contraire”

Pernyataan di atas merupakan refleksi kekecewaan mereka terhadap insan pers dan penggiat hak asasi manusia yang sebelumnya tegas terhadap para “penentang tatanan moral” namun dianggapnya telah berubah sikap secara drastis ketika berhadapan dengan fundamentalis karena dihadapkan pada isu ‘islamofobia’.


Di sisi yang lain, menurut mereka, para penentang dan pengkritik penggunaan cadar kemudian disebut sebagai “croisés de la laïcité” atau ‘tentara salib sekularisme’ dan bahkan di dalam sebuah halam koran di le Monde disebut dengan sematan “d’Ayatulloh de la laïcité”. Sebutuan yang menurut mereka tidak sepantasnya disematkan. Sementara mereka yang oleh Fourest dan Venner disebut sebagai para aktivis fundamentalis yaitu mereka yang dikategorikan sebagai anggota dari UOIF malah diberikan tempat dan bahkan diundang untuk tampil di televisi sebagai korban. Di dalam hal ini mereka menambahkan,


Preuve que le mot a tenu toutes ses promesses

Fourest dan Venner menilai bahwa kehadiran anggota UOIF di depan televisi merupakan bentuk justifikasi kebenaran firman Tuhan bagi mereka. Dengan demikian hal tersebut juga menjadi justifikasi dari berbagai aktivitas mereka yang tidak hanya melayani perjuangan melawan penistaan agama di Perancis (khususnya), tapi juga benar-benar menghindari isu rasisme.


Dalam perspektif Fourest dan Venner, MRAP menyebut buku Oriana Fallaci sebagai “ brûlot Islamophobe” (cercaan Islamofobia) dan bukannya “brûlot racist” (cercaan rasis). Menurut hemat saya, kritik mereka terhadap kesimpulan MRAP ini sangat penting. Mereka menilai bahwa MRAP lebih menekankan tuduhan terhadap buku ini di bagian di mana Fallaci mengkritik Islam, bukan pada bagian yang jelas merupakan elemen rasis. Sebagai akibatnya, kasus MRAP dibatalkan dan Fallaci bebas dari jerat hukum.


Mereka juga mengkritik Ligue des droits de l’homme (Liga Hak Asasi Manusia) yang sebelumnya pernah mendukung Salman Rushdie tapi kemudian nilai turut bergabung bersama asosiasi Muslim yang menyerang Novel Ayat-ayat Setan (Les Versets Sataniques) tersebut. Apa yang mempersatukan mereka? Menurut Fourest dan Venner, mereka dipersatukan oleh kalimat yang disampaikan oleh Houellebecq (seorang penulis polemis asal Perancis),


“…quand on lit le Coran, on est effondré”

Kesimpulan ini tentu sangat subjektif. Meskpun demikian, dugaan yang disampaikan oleh Fourest dan Venner ini menarik untuk ditelaah lebih jauh. Apa yang melatar belakangi kesimpulan Houellebecq bahwa kehancuran seseorang berbanding lurus dengan aktivitas membaca Al-Quran? Bukankan selalu ada alasan di balik sebuah kesimpulan?


Penutup


Sebagai sebuah penutup, Fourest dan Venner menggaris bawahi tentang pentingnya menjaga kebebasan dan kesempatan untuk bersikap kritis terhadap agama apapun. Oleh karena itu, mereka sangat pengapresiasi keberadaan figur penulis seperti Houellebecq yang mereka anggap sebagai figur yang sempurna yang dapat dijadikan rujukan untuk ‘selamat’ dari manipulasi rasisme yang dibawa bersama kata ‘islamofobia’ atau dari manipulasi agama apapun. Seperti yang mereka jelaskan,


Rien de très alarmant, du moins si l’on considère que l’on peout toujours critiquer la religion et surtout que Houellebecq n’est pas tendre avec les autres religions

Bagi mereka, konsep islamofobia telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap wacana rasisme di Perancis. Karena konsep ini telah membuat wacana rasisme dan kritik terhadap agama menjadi satu kesatuan yang utuh. Wacana rasisme sudah sulit untuk dibicarakan lagi, karena segala bentuk aktifitas yang bertujuan mengkritik agama di dalam bentuk apapun beberapa asosiasi anti — rasis akan secara otomatis akan dikategorikan sebagai “islamofobia”. Dan di dalam situasi ini mereka menilai, konsep “islamofobia” telah membawa berbagai asosiasi anti — rasis lebih berpihak pada kelompok Islamis.


Dan ketika artikel ini terbit, mereka menilai, tendensi untuk mengganti kata ‘rasisme’ dengan ‘Islamofobia’ sangat sejalan dengan kebijakan Nicolas Sarkozy.


Refleksi


Saya tidak memberikan komentar terhadap artikel ini. Saya sajikan artikel ini sesuai dengan aslinya dengan menyadur dan menyusun ulang dengan redaksi yang berbeda yang saya kelompokan ke dalam satu tema yang saya anggap menarik untuk diangkat menjadi sebuah tulisan.


Dari artikel ini, kita sudah dapat melihat betapa isu islamofobia bukanlah hal yang sederhana.

— — — — — — — — — — — — — — —

*(Pernyataan di atas merupakan petikan dari kesimpulan yang mereka tulis di dalam sebuah buku yang berjudul “Tirs Croisés: La Laïcité à l’Eprouve des Integrismes Juif, Chrétien et Musulman” yang dipublikasikan pada tahun 2003).

7 views0 comments

Comments


bottom of page