Di catatan saya sebelumnya, saya telah memberikan sedikit gambaran mengenai argumentasi ‘esensialisasi’ islamofobia sebagai sebuah konsep. Sekarang, saya akan mengajak anda untuk memahami bagaimana ‘representasi’ islamofobia sebagai sebuah sejarah dan sebagai sebuah elemen ‘konspirasi’.
Kali ini saya akan menyadur sebuah artikel menarik dengan sumber rujukan yang sangat dapat dipertanggungjawabkan yang ditulis oleh Jean — Loïc le Quellec dengan judul aslinya, ‘Histoire et mythe conspirationniste du mot “islamophobie”’. Dengan demikian, kita meloncat cukup jauh dari tahun 2003 ketika pertama kali islamofobia sebagai sebuah konsep diperdebatkan oleh Caroline Fourest dan Fiammetta Venner yang telah saya bahas sebelumnya.
Islamofobia : konsep yang berevolusi
Konsep ‘islamofobia’ seringkali dikuti dengan konsep ‘islamofil’. Menurut Le Quellec, secara konseptual, keduanya merupakan konsep yang mengalami evolusi dan masih dapat dikategorikan sebagai konsep yang baru karena berdasarkan penelusuran-nya kedua kata ini muncul secara berurutan di tahun 1910 dan 1911.
Menurut Le Quellec, meskipun kata ini muncul di tahun 1910 namun islamofobia sebagai sebuah konsep muncul menjadi sebuah kontroversi untuk pertama kali pada tahun 2003 melalui artikel yang ditulis oleh Caroline Fourest dan Fiammetta Venner di majalah mereka ProChoix. Pernyataan kontroversial yang muncul di dalam artikel tersebut adalah,
« pour la première fois été utilisé en 1979, par les mollahs iraniens qui souhaitaient faire passer les femmes qui refusaient de porter le voile pour de ‟mauvaises musulmanes” en les accusant d’être ‟islamophobes”
Salah satu pernyataan kontroversial yang muncul di dalam artikel tersebut adalah bahwa islamofobia secara konseptual muncul tahun 1979 dan digunakan oleh para Mullah di Iran sebagai sebutan bagi perempuan yang menolak untuk mengenakan jilbab yang dikategorikan sebagai ‘muslim yang buruk’.
Di dalam artikelnya ini, Le Quellec menambahkan sebuah opini yang disampaikan oleh Pascal Bruckner di tahun 2010 yang kurang lebih sama. Artinya, opini ini Bruckner menyampaikan opininya ini tujuh tahun kemudian sejak artikel Fourest dan Venner pertama terbit tahun 2003. Bruckner tampak mendukung pendapat Fourest and Venner yang dengan meyakinkan menyatakan bahwa islamofobia sebagai sebuah konsep telah dipalsukan oleh para ‘fundamentalis Iran’ di akhir tahun 1970 — an untuk melawan para feminis Amerika yang menolak dan memprotes penggunaan jilbab.
Oleh karena itu bagi Bruckner, islamofobia sebagai konsep adalah sebuah jebakan yang sangat kasar ‘un piège assez grossier’ yang dapat digunakan untuk menjatuhkan ( baca : siapa saja yang tidak sesuai atau bertentangan aturan kelompok fundamentalis). Sehingga dengan sangat mendesak dia menyarankan bahwa sebagai sebuah kosa kata, konsep ini sebaiknya tidak digunakan.
Dia menduga bahwa konsep ini sengaja diciptakan sebagai bagian dari propaganda totaliter “création digne des propagandes totalitaires” yang bertujuan agar Islam sebagai sebuah agama tidak dapat tersentuh (baca : oleh kritikan) karena siapapun yang melakukan kritik terhadap Islam akan mendapatkan tuduhan telah melakukan tindakan rasisme “l’islam un objet intouchable sous peine d’être accusé de racisme”.
Menurut Le Quellec, para penulis ini menghidupkan kembali apa yang disebut oleh Pierre — André Taguieff di tahun 2002 sebagai “l’épouvantail rhétorique”. Terjemahan bebas dari “l’épouvantail rhétorique” di dalam bahasa Indonesia adalah ‘retorika orang — orangan sawah’ yaitu kata yang digunakan untuk menakut — nakuti siapapun yang datang untuk mengganggu.
Pada saat itu Taquieff menyatakan bahwa islamofobia digunakan sebagai kecaman bagi setiap kritik terhadap ‘fundamentalisme Islam’. Hal ini terjadi sebagai dampak dari bentuk kewaspadaan anti — rasis yang dianggapnya sangat kejam dan bentuk terorisme intelektual.
“par l’effet d’une extension abusive de la vigilance antiraciste, toute critique de l’intégrisme islamique est immédiatement dénoncée comme manifestation d’islamophobie. Le terrorisme intellectuel règne”
Reaksi pemerintah : konsep islamofobia dan stigmatisasi perempuan di Iran
Hal menarik yang dapat ditemukan di dalam artikel Le Quellec ini adalah analisisnya mengenai dukungan Manuel Valls di bulan Juli tahun 2013 mengenai pendapat para intelektual ini. Dia berpendapat bahwa di balik kata islamofobia terdapat sesuatu yang tersembunyi dan dia sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa kata ini diciptakan oleh kaum fundamentalis Iran pada tahun 1970-an untuk ‘menstigmatisasi’ perempuan yang menolak mengenakan cadar.
Terhadap pandapat Manuel Valls ini Le Quellec tampak memiliki pandangan yang berbeda. Menurut pendapatnya sebagai seorang Menteri Dalam Negeri telah memberikan dukungan terhadap argumen yang keliru yang telah disampaikan oleh para intelektual tersebut di atas,
Je crois que Caroline Fourest et avec elle d’autres intellectuels ont raison […] Pour les salafistes, ‟[l’]islamophobie” est un cheval de Troie qui vise à déstabiliser le pacte républicain »
Manuel Valls menambahkan di dalam argumentasinya bahwa islamofobia bagi kaum Salafi adalah kuda Troya yang digunakan untuk mengacaukan apa yang dia sebut sebagai ‘le pacte républicain’ (baca : masyarakat Perancis)
Le Quellec menemukan pengulangan argumentasi ini pada tahun tahun berikutnya. Pada tahun 2014, argumentasi ini digunakan di dalam sebuah surat terbuka yang ditujukan pada Menteri Pendidikan Perancis, Najat Vallaud — Belkacem. Selanjutnya pada tahun 2015, Patrick Kessel menggunakan argumentasi yang sama dalam acara pemberian penghargaan Prix de la Laïcité secara pribadi menyampaikan kecaman,
“ce concept sournois d’‟islamophobie” qui vise à condamner comme raciste toute critique de l’islam radical”
Di dalam pidatonya Kessel mengkategorikan konsep islamofobia sebagai konsep licik yang digunakan untuk memberikan kutukan ‘rasis’ kepada siapapun yang memberikan kritikan terhadap pandangan Islam yang radikal.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Elisabeth Badinter di tahun 2016 tepat setahun setelah serangan Charlie Hebdo. Melalui saluran radio France — Inter dia menghimbau masyarakat untuk tidak takut disebut sebagai islamofobia.
“il faut s’accrocher et il ne faut pas avoir peur de se faire traiter d’islamophobe”
Tidak lama kemudian di tahun yang sama, Régis Debray menambahkan dengan memberikan komentar yang memberikan kesan bahwa islamofobia adalah konsep yang digunakan untuk memeras seseorang dan sudah keterlaluan (tidak dapat ter-tahankan lagi).
“le chantage à l’islamophobie est insupportable”
Islamofobia : dari sebuah konsep ke sebuah rekayasa intelektual
Le Quellec juga menemukan catatan Gilles Keppel pada bulan Mei 2016. Sebagai seorang profesor di Sciences Po, Keppel justru menyampaikan temuan yang berbeda dengan para intelektual yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Menurut Keppel, islamophobia muncul di Perancis pada tahun 2000-an setelah kasus Rushdie yaitu sepuluh tahun setelah kemunculan-nya untuk pertama kali di Britain Raya (UK).
Menurut Keppel, islamofobia bukanlah sebuah konsep tapi sebuah senjata yang digunakan di dalam perang intelektual “une arme dans la guerre intellectuelle” yaitu berupa rekayasa yang dirancang untuk ‘melarang’ terjadinya perdebatan karena tuduhan islamofobia akan digunakan untuk melarang kritik terhadap apa yang dia sebut sebagai ‘Salafisasi’ yang terjadi di daerah pinggir kota di Perancis.
Ditemani oleh beberapa profesor dari Sciences Po yang lainnya, Bernard Rougier, Keppel juga menyampaikan satu analisis menarik tentang pengaruh signifikan konsep “radikalisasi” dan “islamofobia” di dalam kerja para peneliti di dalam ilmu — ilmu kemanusiaan. Le Quellec menganggap pernyataan Keppel ini cukup mengejutkan mengingat begitu banyaknya ilmuan dan intelektual yang secara khusus membahas tentang islamofobia yang secara tidak langsung tidak mencerminkan keluhan Keppel.
“ ‘radicalisation’ comme ‘islamophobie’ constituent des mots écrans qui obnubilent notre recherche en sciences humaines”
Untuk mendukung argumentasinya, Le Quellec kemudian memberikan beberapa contoh riset yang telah dilakukan di beberapa negara. Seperti karya yang ditulis oleh Chris Allen yaitu peneliti islamofobia dari Inggris yang telah menerbitkan banyak artikel sejak tahun 2006 hingga tahun 2012. Selain itu juga ada Fondation de la Maison des Sciences de l’Homme yang menyelenggarakan konferensi internasional di Pari dengan tema “L’islamophobie dans le monde moderne” pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2011, Abdellali Hajjat dan Marwan Mohammed juga pernah mengadakan seminar tentang islamofobia di École des Hautes Études en Sciences Sociales. Di tahun 2013, Fernando Bravo López telah mempertahankan tesis dengan tema “islamofobia”. Dan tahun 2013 juga adalah tahun berdirinya jurnal “Islamophobia Studies”.
Begitu pesatnya kajian islamofobia di negara berbahasa Inggris membuat Le Quellec menarik sebuah kesimpulan bahwa jika dibandingkan dengan Anglo — Saxon kajian dan riset tentang islamofobia di Perancis telah lama tertinggal. Dan dia berpendapat bahwa cara pandang para akademisi seperti Gilles Keppel dan Bernard Rougier menurutnya tidak akan dapat banyak membantu untuk merubah keadaan menjadi lebih baik.
Bahkan hingga tahun 2016, Le Quellec menemukan pandangan yang sangat keliru yang meyakini bahwa islamofobia adalah konsep yang diciptakan oleh Khomaini dari Iran dengan tujuan untuk ‘menstigmatisasi’ siapa saja yang menentang rezimnya, masih dapat ditemukan. Salah satunya adalah disampaikan oleh Michel Onfray.
Berbagai fakta yang meyakinkan tentang sirkulasi ‘disinformasi’ seputar sejarah dan konsep islamofobia yang disampaikan oleh Le Quellec ini memperlihatkan jaringan dialogis yang aktif yang menghubungkan para intelektual Perancis yang memiliki cara pandang yang sama terhadap isu islamofobia.
Fakta Sejarah Islamofobia
Jika pendapat para ilmuwan di atas dianggap keliru, lalu informasi yang manakah yang benar? Untuk menjawab pertanyaan ini Le Quellec membantu kita dengan menyajikan informasi yang akurat sebagai berikut :
Alain Quellien (1910)
Di dalam artikelnya yang berjudul “La politique musulmane dans l’Afrique occidentale française” terbit pada tahun 1910, Alain Quellien mendefinisikan “islamofobia” sebagai,
“un préjugé contre l’Islam répandu chez les peuples de civilisation occidentale et chrétienne”
Di dalam definisi-nya tersebut kita dapat melihat ada unsur prasangka yang dimiliki oleh apa yang disebutnya sebagai peradaban Barat dan Kristen terhadap Islam. Bagi Quellien, prasangka tersebut dipahaminya telah meluas terjadi di masyarakat tersebut.
Di dalam artikelnya tersebut, Quellien mengutip sebuah literatur kolonial klasik yang ditulis oleh Jeseph du Sorbiers de la Tourasse dan Dr. Oskar Lenz yang mengamati adanya kecenderungan bagi sebagian orang yang melihat Muslim sebagai musuh alamiah yang tidak akan dapat berdamai dengan orang Kristen dan Eropa. Quellien lalu menyimpulkan bahwa sikap islamofobia adalah sikap yang muncul dari pandangan yang meyakini bahwa “islamisme” adalah negasi dari peradaban dan “orang Islam” pada umumnya memiliki itikad buruk dan kejam.
2. Istilah Islamofobia bukan istilah dalam bahasa Arab
Tuduhan bahwa islamofobia adalah konsep yang dibuat oleh para Mullah di Iran menurut Le Quellec tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hasil analisisnya, kata ini tidak memiliki padanan kata yang tepat di dalam bahasa Iran.
Di dalam artikelnya Le Quellec barusaha untuk menempatkan analisisnya secara netral dengan berusaha mendapatkan padanan kata yang lain di dalam bahasa Persia dan bahasa Arab.
“En persan, on pourrait à la rigueur dire islām harāsī (اسلام هراسی), littéralement « hostilité à l’islam », tout comme en arabe on dirait ‛adā’ al-islām (عداء الاسلام), mais en réalité, ce terme est bien une invention française qui, pour être rendue en arabe, a donné lieu dans les années 1990 à la création de l’expression ruhāb al-islām (رهاب الاسلام) « phobie de l’islam ».”
Menurut hasil penelusurannya, satu satunya kata yang dapat dijadikan sebagai padanan di dalam bahasa Persia adalah islām harāsī (اسلام هراسی) yang secara harfiah dapat dipahami sebagai “permusuhan terhadap Islam”. Term yang kurang lebih sama dia temukan di dalam bahasa Arab yaitu ‛adā’ al-islām (عداء الاسلام).
Dengan demikian dia menyimpulkan bahwa islamofobia secara konseptual adalah kata yang diciptakan oleh orang Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang muncul pada tahun 1990 — an melalui ungkapan ruhāb al-islām (رهاب الاسلام) yang berarti “fobia terhadap Islam”.
3. Sliman Ben Ibrahim dan Orientalis Étienne Dinet
Le Quellec juga menemukan bahwa di dalam bahasa Inggris islamofobia muncul pertama kali pada tahun 1924 melalui sebuah buku yang ditulis bersama oleh Sliman Ben Ibrahim dan pelukis Orientalis Étienne Dinet. Namun, pada saat itu kata islamofobia hanya dikutip dan tidak diadopsi sebagai bahasa Inggris. Pada saat itu, istilah islamofobia lebih disukai dibanding uangkapan ‘perasaan tidak suka terhadap Islam’ (sentiments hostiles à l’Islam). Menurut Le Quellec, penggunaan huruf besar pada kata Islam menjadi isyarat penting bahwa Islam yang dimaksud di dalam ungkapan tersebut adalah ‘dunia Muslim secara keseluruhan’, dan bukan merujuk pada agama tertentu yaitu islam.
Berdasarkan hasil Le Quellec, Dinet dan Ben Ibrahim tidak memberikan definisi secara eksplisit tentang apa yang mereka maksud dengan “Islamofobia”. Meskipun demikian, Le Quellec menyimpulkan bahwa pesan utama yang disampaikan melalui catatan mereka adalah merujuk pada “sikap yang memusuhi (I)slam” yang dilihat sebagai musuh yang harus diperangi atau dilenyapkan.
“une attitude hostile à l’islam, regardé comme un ennemi à combattre ou à éliminer” (Bravo López, 2011)
4. Kamus besar Oxford
Berdasarkan hasil penelusuran-nya, islamofobia sebagai sebuah konsep tidak muncul di dalam bahasa Inggris di kamus Oxford hingga tahun 1976. Penjelasan ini ditemukan Le Quellec di dalam artikel yang ditulis oleh Georges Chahati Anawati yang menyatakan,
“What makes the task difficult, perhaps impossible, for a non-Muslim is that he is compelled, under penalty of being accused of Islamophobia, to admire the Koran in its totality and to guard against implying the smallest criticism of the text’s literary value” (Anawati 1976).
Hal menarik yang dapat kita temukan di dalam pernyataan ini adalah adanya keresahan di kalangan masyarakat non — Muslim berupa perasaan takut akan dituduh sebagai islamofobia. Saya menduga, yang dimaksud dengan ‘kalangan non — Muslim’ di sini adalah para intelektual atau peneliti non — Muslim karena harus menghadapi situasi yang sulit dan sangat mustahil untuk dilakukan yaitu wajib mengagumi al-Qur’an secara keseluruhan dan harus mampu menahan diri untuk tidak memberikan sedikitpun kritik terhadap nilai teks yang ada di dalamnya.
Le Quellec menangkap perbedaan yang signifikan antara pendapat yang disampaikan oleh Dinet dan Ben Ibrahim dengan apa yang diungkapkan oleh Anawati. Dia berpendapat bahwa Dinet dan Ben Ibrahim merujuk islamofobia sebagai bentuk “prasangka yang dialami oleh kaum orientalis terhadap Muslim”. Sementara Anawati memunculkan makna yang baru yang justru merujuk pada prasangka yang dialami oleh Muslim terhadap mereka yang melakukan kritik tekstual terhadap al — Qur’an yang dilakukan oleh para pengkaji al — Qur’an yang non — Muslim.
Le Quellec menduga, perbedaan pandangan ini menjadi asal mula kesalahpahaman yang kemudian berkembang kemudian di Perancis. Pandangan yang meyakini bahwa kata ini diciptakan untuk “memeras kritik Barat”
“un véritable chantage en direction des critiques occidentaux”.
Apakah konsep ini harus ditinggalkan ?
Melihat fenomena ini, Le Quellec memberikan sebuah cara pandang yang menarik. Dia berpendapat bahwa menerima islamofobia sebagai sebuah konsep yang memang diciptakan untuk membatasi kemungkinan kritik terhadap Islam sebagai sebuah agama yang oleh karenanya seseorang tidak perlu takut disebut islamofobia hanyalah bentuk dari instrumentalisasi islamofobia secara partisan. Karena hal ini tidak berarti bahwa islamofobia benar — benar tidak ada. Sama hal nya dengan fakta bahwa tuduhan anti — Semitisme yang sering dilontarkan kepada para pengkritik kebijakan Israel tidak berarti menyiratkan bahwa istilah anti — Semitisme tidak berarti dan bahwa anti — Semitisme itu ada sehingga kata tersebut harus ditinggalkan.
Penutup
Dari penjelasan ini tampak bahwa bagi Le Quellec, islamofobia sebagai konsep dan sebagai fenomena adalah dua hal yang berbeda. Hal ini menyiratkan bahwa pengaruh islamofobia sebagai konsep terhadap dinamika masyarakat yang dibawa melalui wacana dialektis para intelektual di Perancis di masa lalu sangat signifikan terhadap arah wacana islamofobia di masa kini.
Di sisi yang lain, islamofobia sebagai sebuah fenomena menjadi bagian penting yang melekat dan nyata terjadi di dalam masyarakat. Hal ini dapat kita temukan di dalam temuan manuskrip yang disajikan bahkan dari tahun 1910 seperti yang disampaikan oleh Quellien atau di tahun 1924 seperti yang disampaikan oleh Dinet dan Ibrahim. Kedua fungsi kata islamofobia memberikan sinyal bahwa, secara konseptual kata ini masih sangat dibutuhkan. Pertanyaan yang muncul kemudian : jika bukan islamofobia, adakah kata lain yang jauh lebih representatif dan sesuai?
Jawaban atas pertanyaan ini akan dicoba dibahas di dalam ulasan tentang islamofobia berikutnya.
Comments