top of page
Writer's pictureIma Sri Rahmani

Suka duka berjilbab di tanah Napoleon

Alhamdulillah, akhirnya kesempatan untuk menulis sedikit pengalaman Allah berikan juga untuk saya. Insyallah, genap empat bulan saya di Paris, dan serasa 1 tahun sudah saya melewati hari hari yang penuh ujian dari Allah.


Ya, sulit saya tegaskan. Hidup di negara yang kata orang sungguh luar biasa, dulu saya juga berkata demikian, tapi sekarang menjadi sangat luar biasa. Bukan karena negaranya...yang sungguh kini menjadi hanya biasa saja, tapi karena berbagai jawaban jawaban atas pertanyaan pribadi yang selama ini tidak saya temui.


Begitu sampai di Paris, suami tercinta langsung mengajak kompromi. "Terserah neng, mau dilepas atau tidak". Bagi saya ini pertanyaan yang mudah jawabannya. Tapi tidak bagi suami saya yang sudah lebih dahulu tinggal di negeri ini. Saya tidak memberikan jawaban tapi saya meminta waktu untuk berfikir.


Dahulu suami saya pernah bercerita betapa jilbab menjadi simbol yang sangat memalukan. Khususnya bagi para pekerja indonesia di tanah arab. Dahulu, saya hanya tersenyum dan membalas perkataan beliau dengan ucapan,"so what gitchu lokh, toh mereka pejuang devisa dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan jilbab". Suami saya berusaha membandingkan antara pekerja indonesia dengan pekerja dari Filipina. " Neng, jauh sekali perbedaannya, mana bau dan dandanannya tidak pantas untuk dilihat, mana bisa orang lain menghargai TKW dari Indonesia ?".


Kini saya paham. Allah telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melihat dan merasakan satu pesawat dengan saudara saudara saya dari tanah air yang hendak mencari peruntungan di tanah arab. Kami berangkat dengan pesawat Etihad. Sejak di bandara sukarno hatta keberadaan saudara saudara saya tersebut cukup menylitkan petugas karena mereka bergerombol banyak sekali. Salah satu kelompok dari mereka justru menyerobot tempat duduk yang sudah kami tempati yang akhirnya kami mengalah dan pergi mencari tempat yang lain yang lebih jauh dengan pintu masuk.


Ya Allah, sedih saya melihatnya. Sebagian besar dari mereka tampak lusuh dan lelah. Tidak ada guratan wajah percaya diri. Duduk di lantai berselonjor kaki. Mata menerawang entah ke mana. Yang lainnya membolak balik sebuah buku yang mungkin entah itu buku apa, yang jelas setiap dari mereka memegang buku saku kecil berwarna biru. Malah, tidak sedikit dari mereka bersandal jepit usang yang mungkin sudah lama tidak dipergunakan. Dari tas yang mereka bawa saya dapat menerka kondisi kehidupan mereka di tanah kelahirnnya. Tas lecek bahkan dengan resleting yang sudah putus disambung benang. Bahkan diantara mereka ada yang masih sangat belia. Dan mereka semua berjilbab sama dengan saya.


Keceriaan saya tiba tiba lenyap. Saya berkata dalam hati, inikah pahlawan devisa yang selalu di bangga banggakan pemerintah? Apa yang akan mereka kerjakan di negara orang ? Pantas saya sering mendengar TKW yang baru datang atau dihipnotis hingga seluruh harta benda bawaanya raib berpindah tangan. Saya pikir jangankan hipnotis yang canggih, teguran satpam saja bisa membuat mereka kencing berdiri. Saya hanya bisa berdoa, semoga mereka mendapat majikan yang pengasih dan penyayang.


Kehebohan berlanjut di dalam pesawat terbang. Sulit sekali mengatur mereka untuk dapat duduk di tempat yang sudah ditentukan. Mereka bertukar tempat duduk satu dengan yang lain karena tidak mau dipisahkan dengan kawan dekatnya. Dengan bahasa arab yang pas pasan mereka mencoba berkomunikasi. Untunglah ada dua anak saya yang langsung mengalihkan perhatian saya dan mengajak saya untuk tidak terbawa pada rasa khawatir yang terlalu jauh.


Tidak sampai disitu saja. Kami transit di Abu Dhabi. Tujuh jam menunggu fajar untuk menunggu pesawat yang akan mengantarkan kami ke Paris. Di tempat ini saya langsung bisa memastikan mana yang orang indonesia dan mana yang bukan karena pada umumnya wanita yang berada di sini berkerudung semua. Beberapa kali saya disapa dengan bahasa indonesia, dan saya senang karena ternyata jauh dari tanah kelahiran saya masih mendapati banyak orang indonesia, dari petugas keamanan sampai kebersihan.


Suami saya bilang,"Neng sekarang sama aja dengan TKW yang tadi". Saya tersenyum. Dan memang benar, saya merasa sangat lelah dan lecek.


Pengalaman tadi saya bawa di Paris. Tiga hari setelah kedatangan kami mencoba jalan jalan sekitar Paris terutama mengunjungi menara eiffel yang terkenal itu. Betapa kagetnya saya, di beberapa tempat pemberhentian Metro (kereta bawah tanah) saya mendapati wanita wanita muda cantik menjadi peminta minta. Suami saya menjelaskan bahwa mereka kebanyakan berasal dari Eropa Timur, diantaranya adalah Rumania. "Aduhai, kalau di Indonesia nich undah jadi artis nyaingin Luna Maya, bahkan lebih cantik dari Nabila Syakib" begitu saya berbisik dalam hati. Dan mereka menggenakan kerudung lengkap dan rapat, sama seperti saya.


Saya perhatikan dengan seksama. Kini, bukan orang indonesia lagi, tapi saya dapat langsung membedakan mana orang" Islam" dan mana yang bukan, walaupun dalam konotasi yang menyedihkan. Dengan kasat mata saya dapat merasakan energi yang diberikan kepada mereka, selalu negatif dan identik dengan jorok, jijik dan hina.


"Abi tidak menyuruh neng untuk membuka jilbab, tapi neng bisa rasakan sendiri bagaimana perlakuan orang orang terhadap mereka, bahka kita sendiri dapat merasakannya bukan?. Saya tersenyum, ya karena saya sempat duduk satu bangku dengan salah satu dari mereka...dan baunya membuat kepala saya pusing dan asam lambung saya naik secara tiba tiba. Saya paham maksud sumai tercinta. Beliau hanya tidak mau jilbab mempersulit kehidupan saya di Paris yang memang sudah sulit. Ditamabh lagi jilbab yang di sini lebih dikenal dengan sebutan burkha tengah menjadi buah bibir masyarakat di Perancis secara umum.


Hal ini juga dibenarkan oleh seorang kawan kami yang berasal dari Aljazair. Dia menyarankan agar saya membuka Jilbab saya. Dia menceritakan bagaimana orang perancis tidak menyukai orang yang berjilbab. Terutama kepada orang seperti saya !, katanya sambil menunjuk hidung mancung khas padang pasir.


Apapun maksud yang disampaikan oleh suami, saya terima dengan bangga hati. Tapi kemudian saya bertanya, lalu, mengapa Allah memerintahkan saya untuk menutupi rambut saya di hadapan orang lain?. Bukankah Allah lebih tahu yang terbaik untuk umatnya ? Mengapa Dia perintahkan jika tidak ada gunanya? Di sisi yang lain, jilbab bagi saya sebuah perjalanan panjang. Sebuah pilihan yang bukan tanpa alasan, yang mungkin tidak bisa saya jelaskan di sini. Apakah harus saya lepas begitu saja ?


Akhirnya saya meminta dua bulan pada suami saya untuk membuktikan bahwa berjilbab teramat menyulitkan. Kalau ternyata mempersulit kehidupan kita, maka tidak ada salahnya saya akan lepas, begitu saya katakan.


Waktu terus berlalu. Satu per satu akhirnya benang ruwet masalah jilbab terurai. Saya bersyukur karena saya terlahir di lingkungan Sunda yang senang basa basi. Menyapa sana sini. Senyum ke sana kemari. Ternyata kebiasaan ini sedikt banyak ada persamaan dengan orang Perancis. Kuncinya ada di satu kata, "Bonjour...!?". Seperti seorang kenalan berkulit hitam menasehati saya dengan bahasa inggrisnya yang lancar. "Bilang saja bounjour...maka semua urusan lebih mudah, jangan sampai lupa itu!". Kawan baru yang ternyata juga pendatang dari Konggo dan bersekolah di NY Amerika itu menceritakan pengalamannya. Karena kelamaan di Amerika dia lupa kebiasaan di Perancis. Ketika hendak membeli roti dia hanya bilang " une baguette s'il vous plait ", yang artinya satu roti tolong yach (please) yang di Amerika sono itu sudah sangat sopan. Si penjual hanya diam saja, dengan wajah sedikit kesal dan suara sedikit keras lalu si penjual berkata, "Bounjour madame!". Fleur, kawan saya tersebut baru sadar dan segera membalas.


Subhanallah. Dengan jilbab ini lah kemudahan demi kemudahan kami dapatkan. Sering kami berpapasan dengan orang keturunan Arab yang langsung menyapa saya dengan ucapan Salam fasih dalam bahasa Arab dan mereka sangat senang karena saya mampu menjawab dengan fasih 'ala' si Abi kalau bicara dalam bahasa Arab dengan logat dan penekanan huruf yang sama dengan mereka.


Kejutan juga sering kami terima. Misalnya ketika pagi pagi kami keluar apartemen untuk menghadiri acara 17 Agustus di KBRI. Ketika menunggu bis tiba tiba seorang lelaki mendekat dan memberikan Afra dan Akhtar roti yang masih terbungkus rapi. Sun jauh di tangan dan tepukan di dada menandakan bahagia setiap kali kami berpisah di terminal. Pujian demi pujian saya dapatkan, dan saya dengan bangga memperkenalkan diri," Je suis indonesianne". "Tres bien !"


Kejadian yang lainnya adalah ketika kami mendapat masalah dengan kunci pintu masuk. Kami tidak bisa masuk ke dalam rumah karena kuncinya tidak berfungsi. Ketika petugas asuransi sampai di tempat awalnya suami saya diminta untuk mengangkat perangkat perkakas hingga di lantai empat. Dengan nada sombong dia memerintah, begitu suami saya menceritakan. Tapi seketika berubah ketika dia melihat saya. Dia langsung bertanya, Muslimah?. Saya jawab Oi (walaupun sebenarnya cuman itu yang bisa saya katakan...hihihi). Tiba tiba dia menjadi lunak. Terlebih ketika suami saya berbicara dalam bahasa Arab, bahasa kebangsaannya. Dalam hati saya berbisik, O la la...cowok ganteng kayak gini jadi tukang kunci ? Di indonesia dah jadi artis... mirip Thomas Jordan, suer!! Yang tadinya be te, tiba tiba ceria. Lumayan vitamin A di depan mata. Masalah pintu pun selesai.


Kemudahan yang lainnya adalah ketika di sekolah Afra. Ternyata banyak sekali orang keturunan Arab yang bersekolah. Diantaranya dengan senangnya menghadiahkan Afra mainan bekas mereka ( yang masih bagus banget), sepatu untuk akhtar dan keperluan bayi yang lainnya. Saya sempat berfikir. Mungkin mereka kasihan yach...soalnya baju yang kita pakai variasinya gak banyak. Akh apapun itu, dia menjadi dekat dengan saya karena jilbab saya, karena itu yang membedakan saya dengan orang cina yang juga banyak di sekitar apartemen saya.


Jilbab juga membuat saya merasa aman. Mereka sangat respek. Bahkan jilbab membuat saya akrab dengan kawan kawan kurusus yang kebanyakan laki laki dan mereka sebagian besar berasal dari Mesir. Mereka rela menunggui saya setiap kali pulang untuk pulang bersama sama dan mengantarkan saya sampai di perempatan dekat dengan apartemen saya. Persahabatan kami sungguh diawali dengan jilabab ini. Jadi saya tidak perlu takut pulang malam setelah kursus karena saya punya banyak bodygoard yang siap menjaga saya.


Tidak hanya dari orang keturunan Arab saja saya mendapat kemudahan. Berbicara tentang Cina saya pun mendapat pengalaman yang lucu. Tidak jarang mereka bingung dengan kami, wajah mirip dengan mereka tapi berjilbab. Sering mereka menyapa dengan tiba tiba menggunakan bahasa mereka. Berkat basa basi dan ilmu tebar pesona saya juga mendapatkan seorang teman Cina yang buaiiiikkknya luuuuaar biasa. Dia yang memberikan banyak informasi tentang makanan, cuaca dan tidak lupa membelikan Afra roti atau makanan kecil setiap kali dia habis berbelanja bulanan. Dia juga yang memberikan Afra baju dingin yang harganya cukup mahal. Alhamdulillah, setiap kali kami hendak membeli keperluan anak anak selalu saja Allah memberi jalan keluar.


Dan yang paling penting adalah, saya sering mendapatkan pujian akan wajah saya dengan jilbab yang saya kenakan. Hm hm, artinya saya gak memalukan. Setidaknya itu yang dapat saya sampaikan pada suami tercinta. Dan sekali lagi saya bilang, "Je suis Indonesianne!". Saya gak bohong loh! Mereka terkesan dengan bergo yang saya kenakan. Katanya bikin saya tambah cantik. Pujian tidak hanya datang dari teman laki laki tapi juga teman wanita. Alhamdulillah. Dengan jilbab ini malah memudahkan saya berkomunikasi karena mereka yang menyapa saya lebih dahulu. Hm hm, ada juga loh yang naksir...hehehehe.


Kini empat bulan sudah saya melalui hari hari di Paris dengan Jilbab. Empat bulan juga suami saya ikut merasakan berkahnya. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengajak pembaca untuk berjilbab. Tidak sama sekali. Saya hanya berbagi pengalaman dan kembali memaknai jilbab bukan lagi sebagai sebuah pilihan tapi bagi saya sebuah perjalanan panjang.


Seperti halnya sebuah teguran tetangga apartemen kami kepada suami saya, "Mengapa Anda paksakan Istri Anda untuk berjilbab?" (luar biasa yach... jilbab sudah jadi simbol penindasan!). Suami saya menjawab,"Saya tidak memaksakan, malah saya menyarankan untuk tidak berjilbab, tapi ini adalah keinginannya untuk berjilbab karena dia merasa nyaman dengan berjilbab". Begitu pun Anda yang tidak berjilbab. Kenyamanan atas kehendak pribadi tak ternilai harganya. Berjilbab ataupun tidak, selama Anda merasa nyaman dan bahagia, lakukanlah.


Hanya, kini saya tahu, setidaknya untuk diri saya bahwa Allah telah membuktikan berkah di balik titah Nya. Walaupun saya tahu masih terlalu rendah kualitas" berjilbab" saya dibanding muslimah yang lain. Mohon doanya semoga saya menjadi muslimah yang lebih baik.


Paris, 21 Novembre 2009


128 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page