Makam? Pemakaman? Hah? Mengapa ini menjadi sangat berkesan di benak saya? Sesuatu yang mungkin jarang kita pikirkan bahkan nyaris terlewatkan... hanya di hari Raya atau ketika Rindu dengan seseorang yang sudah meninggalkan kita... pengobat rindu... maka datang dan berdoa di depan nisannya...
Saya tidak sedang bercerita tentang seseorang yang sudah meninggal, tapi justru saya bercerita tentang bagaimana mempersiapkan tempat bagi orang yang sudah meninggal.
Sehari sebelum berangkat ke Paris, pagi pagi sekali bapak mengajak saya dan suami ke ladang yang baru di belinya. Sebuah lahan yang cukup luas yang kini tengah di perbaiki tatanan tanahnya dan ditanami pohon pisang. Saya ingat, ibu saya menentang keras keinginan bapak untuk membeli tanah tersebut... karena kami butuh modal untuk usaha. Tapi bapak bersikeras... karena beliau memiliki sebuah rencana mulia... membuka pemakaman untuk umum.
Pada awalnya bukan bapak yang berniat untuk membeli tanah tersebut, tapi seorang Kiyai di kampung kami mengajak bapak untuk berbagi, karena dia pun berniat untuk menjadikan lahan tersebut sebagai lahan pemakaman. Singkat cerita akhirnya bapak rela membayar lunas tanah tersebut... dengan harapan sisanya akan didapat kemudian... dan sampai saat ini akhirnya bapak pemilik satu satunya... walaupun harus dibayar dengan krisis keuangan karena berkurangnya modal.
Masyarakat sangat senang karena tidak mudah mencari lahan murah untuk pemakaman. Maka, satu persatu mereka mendatangi rumah saya... untuk meminta satu tempat. Namun, tidak ada satupun yang kembali datang untuk memberi kepastian... karena bapak mensyaratkan bagi siapa saja yang mau dimakamkan di tanah tersebut maka :
1) Jika tanahnya sudah habis makamnya harus mau di gali kembali untuk diisi orang lain.
2) Disekeliling makan dilarang keras untuk ditemboki.
Hal ini membuat gempar desa saya, termasuk pemuka agama yang pada awalnya sangat mendukung bapak. Saya pun dibuat gerah karenanya... bukan hanya tanggapan yang negatif tapi juga perlakuan sebagian dari masyarakat yang merugikan... diantara mereka ada yang merobohkan tembok dan menjadikan tanah tersebut sebagai tempat pembuangan sampah. Tidak hanya itu, kami berkali kali mendapat teror telepon di malam hari dengan suara hantu... hiiiiiihiiiiihiiiii. Walaupun entah untuk tujuan apa teror itu mendera rumah kami. Ini merupakan sensasi bapak yang paling menyita material dan mental.
Alasan bapak cukup sederhana, untuk syarat yang pertama beliau menjelaskan bahwa dunia ini di ciptakan untuk orang yang hidup, bukan untuk orang yang sudah mati. Padahal angka kematian terus bertambah sementara lahan hunian tidak mungkin bertambah. Sedangkan untuk syarat yang kedua beliau ingin meniru makam Nabi. Ketika kesempatan berhaji beliau dengan susah payah mengintip makam Nabi walaupun dilarang keras. Tujuannya hanya satu... ingin tahu seperti apa makam Nabi yang begitu di agungkan itu? Beliau hanya menjelaskan bahwa hanya ada satu batu diatas makam Nabi... tidak lebih. Tidak ada keramik mengkilat yang dilapisi emas atau ukiran indah di atasnya. Hanya sebuah batu tua yang dililiti semacam sorban dan tanah, itu saja. Begitu sederhananya makam Nabi membuat bapak saya terpukau. Terlebih lagi ketika beliau melihat pemakaman di Ma'la (Makah), tanah pemakaman itu tidak pernah bertambah atau pun berkurang. Ribuan orang terkubur di dalamnya. Bayangkan, jika satu makam untuk satu orang... mungkin tanah di Makah sudah habis untuk pemakaman saja.
Pendirian bapak ini membuat resah. Mereka tidak rela jika sanak saudara dan handai taulan yang sudah meninggal harus terkubur dalam satu tempat dengan orang yang lainnya. Kehawatiran masyarakat ini bapak jawab dengan satu ide tambahan, yaitu bapak akan mendirikan sebuah masjid dimana setiap orang yang hendak berziarah dapat berdoa di masjid tersebut tanpa harus mendatangi makam kerabat mereka.
Karena tidak ada yang berminat, maka akhirnya bapak memutuskan untuk menjual sebagian tanahnya karena terlalu luas jika digunakan untuk pemakaman keluarga. Ya, tentu saja... kami satu keluarga sepakat dengan syarat dan keinginan bapak... hehehehehe. Hingga saat ini bapak masih tetap pada pendiriannya. "Walaupun pemakaman umum urung di wujudkan tapi masjid insyallah masih akan bapak realisasikan, meskipun entah kapan dan dari mana biaya pembangunannya akan bapak dapatkan", begitu bapak mengakhiri ceritanya. Sungguh pagi terakhir yang sangat berkesan. Ucapan bapak menyimpan pesan dan harapan yang teramat dalam, khususnya bagi saya. Hmmm...
Kesan mendalam bersama bapak tiba tiba muncul ketika saya berkunjung memenuhi undangan Ibu Andree Feillard (seorang Profesor ahli Islam Indonesia) ke rumahnya di Parmain L'isle Adam tiga minggu yang lalu. Butuh dua jam perjalanan menggunakan kereta api. Sebuah kota kecil yang indah di luar Paris yang merupakan bagian dari Departemen (Kota Madya) Val d'oise. Sesungguhnya ini kunjungan kami yang ke-2, walaupun demikian kami tidak bosan bosan untuk berkunjung berkali kali karena kotanya yang indah, terutama ladang gandumnya yang menawan. Menurut Beliau, tempat ini dulu sering di gunakan oleh Van Gogh untuk melukis.
Selepas makan siang kami diajak berjalan jalan di sekitar tempat tinggalnya. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah kunjungan kami ke pemakaman umum yang ada di sana. Pada awalnya saya sempat ngeri. Karena saya berkunjung bersama dua anak yang masih kecil. Wah, kalau di desa saya segala doa dan ajian pasti langsung meluncur dari mulut orang tua sambil mengusapkan air liur ibu di kening dan ubun ubun mereka setiap kali memasuki pemakaman... takut kesambet! Tapi melihat sikap ibu Andree yang nyantai masuk dan lihat sana sini saya jadi merasa tenang. "Ah mungkin hantunya juga gak kenal orang indonesia... gak mungkin ganggu", hihihihi saya mencoba memberanikan diri. Terlebih lagi ketika saya melihat ada salah satu makam yang terbuka penutupnya sehingga kita dapat melihat apa isi di dalamnya walaupun sangat sedikit. "Bagaimana kalo drakula... atau zombie... tiba tiba membuka mata dan dengan perlahan penutup makam itu terbuka sempurna... siap menerkam!". Tapi ibu Andre tampaknya paham kegundahan saya, beliau malah masuk ke salah satu makam dan memperlihatkan pada kami bagaimana isi di dalamnya.
Ya, makam di sini memang ditemboki di sekelilingnya. Malah mungkin saya bisa katakan di beton sampai ke dalam dalamnya. Ketentuan di Perancis memang dilarang keras memakamkan manusia tanpa peti, jadi harus pakai peti dan dimasukan kesuatu ruang yang sudah dipersiapkan di dalam tanah. Jangan harap juga berlaku satu makam untuk satu orang. Jika sudah terlalu penuh maka petinya akan disingkirkan dan tulang belulangnya akan di sisihkan guna memberi tempat bagi yang lainnya.
Saya melihat satu makam dengan 8 - 10 nama bahkan lebih.
Ibu Andre menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia tidak mungkin hal tersebut terjadi di Perancis, artinya satu makam untuk satu keluarga. Tidak hanya peraturannya yang ketat tapi juga biayanya yang mahal, bahkan untuk seorang bayi sekalipun. Bila tidak percaya silahkan baca novel kisah nyata tulisannya Rosita Sihombing yang berjudul Luka di Champ Elysee yang didalamnya diantaranya menceritakan sulitnya memakamkan bayi di Perancis. Atau jika tidak dimakamkan di pemakaman umum orang Perancis biasanya mengkhususkan satu bagian bawah tanah di pekarangan rumahnya yang untuk makam keluarga, begitu seorang kawan menjelaskan.
Beberapa foto yang berhasil saya ambil saya sertakan dalam tulisan ini. Adapun mengenai makam yang terbuka penutupnya tadi menurut ibu Andree mungkin itu bekas pemakaman yang belum di rapihkan...hiiiii... saya jadi tambah merinding.
Sepanjang perjalanan pulang saya teringat bapak... dan teringat sebuah pemakaman mewah di Ranca Maya. Anda pasti akan terkagum kagum melihat deretan bangunan megah yang hanya di khususkan untuk makam saja. Entah sebuah kebetulan atau tidak, saya dan suami tanpa sengaja untuk menghindari kemacetan melewati pemakaman itu beberapa hari sebelum keberangkatan ke Paris. Jauh mata memandang pemukiman warga tak tampak, desa mati nan megah dan sepi hingga ke bukit bukit. Uang memang mengendalikan ketentuan... atau memang tidak ada ketentuan yang berlaku di negara ini khsusunya untuk pemakaman ??? Jujur,saya tidak tahu.
Jika Perancis saja negara maju yang katanya sosialis yang kaya tidak terlalu banyak menghambur hamburkan uang untuk masalah pemakaman, mengapa di tempat saya yang diberi kesempatan murah meriah pun masih di tolak yach?
Ahh, andai bapak datang bersama kami, tentu akan ada sejuta cerita yang akan dia sampaikan. Walapun saya tahu... kata kata bapak akan semakin tidak didengar... karena cerita yang diuraikan bersumber dari negara sekuler yang paling dibenci masyarakat yang katanya jauh dari nilai nilai agama Islam...
Bapak sungguh keras kepala... tapi itu membuat saya semakin mengagguminya...
Paris, 02 Novembre 2009
Ima Sri Rahmani
--------------
Foto adalah ilustrasi mengenai betapa kompleknya persoalan pemakaman di sini. Ini adalah foto yang menggambarkan renovasi makan keluarga akibat dari ukuran yang tidak memenuhi standar. Hal ini terindidentifikasi ketika salah satu anggota keluarga meninggal dan peti matinya menonjol beberapa centimeter dari brankas keluarga. Hal ini menjadi persoalan karena jenazah yang sudah dimasukan ke dalam peti tidak boleh dikeluarkan lagi setelah 5 tahun. Berita dapat ditemukan di sini https://www.ledauphine.com/france-monde/2019/03/25/le-cercueil-de-renee-etait-trop-grand-sa-famille-a-trouve-une-solution
Комментарии