top of page
Writer's pictureIma Sri Rahmani

Belajar dari Barat : Yakin? Barat tak lebih baik dari Timur ?

Setelah siapkan kebutuhan pagi untuk anak anak dan suami, saya merebahkan diri sejenak. Setelah kemarin mendaki bukit batu yang di Huy, kaki masih terasa lelah. Santai sambil menonton TV dan tak sengaja saya memilih saluran 24H. Saluran resmi pemerintah Perancis yang sebenarnya dapat diakses di beberapa negara dengan pilihan bahasa Perancis atau Inggris.


Ternyata, setiap Minggu mereka memiliki program yang cukup menarik yang menghadirkan berbagai laporan dokumentasi berbagai peristiwa khususnya yang berkaitan dengan pertautan budaya dan masyarakat di Perancis khususnya. Kali ini, mereka melaporkan tentang upaya pekerja sosial di Perancis yang bekerja sekuat tenaga membantu para imigran perempuan Yazidi beserta keluarganya untuk dapat hidup dan menemukan harapan baru di Perancis.


Isu tentang Islamophobia di Eropa dan Amerika sejak serangan terroris di menara kembar, memang sangat mempengaruhi penerimaan masyarkat lokal terhadap pendatang. Saya tidak ingin bicara tema geopolitik, karena terlalu kompleks untuk dibicarakan dalam catatan refleksi seperti ini. Namun, program dokumenter seperti ini seperti memutar kembali layar meta-kognisi saya di masa saya menemani suami belajar untuk S3 nya di Perancis. Di saat yang sama, saya seperti diajak untuk meaghubungkan dua layar memori dari dua masa yang berbeda di dua tempat yang secara geografis berdekatan tapi memiliki kebijakan yang sangat berbeda dalam melihat imigran, identitas pendatang, termasuk agama mereka.


Laporan 24H kali ini, menceritakan tahap-demi-tahap organisasi kemanusiaan Perancis yang mencoba membawa tiga orang perempuan Yazidi bersama anak - anaknya setelah ISIS membantai suami, saudara lelaki, dan sebagian keluarga mereka hingga tidak bersisa. Pembantaian atas nama ras ini kemudian di kategorikan sebagai genosida yang dilakukan oleh ISIS dengan dalih bahwa bangsa Yazidi adalah bangsa yang harus dibasmi karena dipandang 'kotor' dan tidak layak hidup.


Dengan menyimak laporan ini, saya menjadi sadar bahwa peran seorang Nadia Murrad, yang berani membongkar kebiadaban ISIS dalam memperlakukan perempuan Yazidi menjadi jalan bagi para perempuan ini untuk keluar dari jeratan ISIS. Yang membuat mata dunia terbuka dan mencoba untuk memahami situasi di Irak dengan cara yang lebih hati-hati dan objektif. Apakah masyarakat Yazidi menjadi korban dari sebuah skenario besar para 'cukong' minyak dan penguasa yang membabi buta? Itupun, saya tak ingin membahasnya di sini...selain bukan ahlinya, saya pikir dengan larut dalam wacana tersebut saya akan membawa pembaca artikel saya ini dalam pusaran kebencian yang sama. Seperti yang mereka inginkan.


Mari kita belajar hal yang baik saja. Yang saya pernah alami, pernah saya rasakan, pernah saya berada di dalamnya.


Kembali ke reportase acara 24H, kita dapat melihat dan mengikuti bagaimana pekerja sosial memabantu keluarga tanpa suami ini memulai hidup di Perancis. Mulai dari memberikan kebutuhan hidup untuk makan, pakaian, tempat tinggal, hingga pendidikan anak anak mereka. Mendaftarkan mereka ke catatan sipil untuk mendapatkan ijin tinggal dan dengan ijin tinggal ini mereka dapat memperoleh berbagai tunjangan dari negara dan fasilitas yang lainnya termasuk jaminan pendidikan dan kesehatan.


Ijin tinggal resmi itu penting?


Ya. Karena di Perancis khususnya, kartu tanda penduduk dapat menghubungkan seseorang pada seluruh elemen negara yang dapat menyokong untuk mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas. Mulai dari bantuan biaya pendidikan, bantuan kesehatan termasuk pemeriksaan ibu hamil hingga persalinan dan perawatan bayi, bantuan sandang bagi anak hingga usia 3 tahun, bantuan biaya pembayaran apartemen, tunjangan keluarga, potongan harga sarana transportasi, bahkan negara akan menjamin masyarakatnya untuk dapat pergi vakansi di musim panas dengen 'spot' vakansi tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan finansial masyarakat.


Dulu ketika kami tinggal di Perancis, setiap menjelang hari libur panjang kami akan mendapatkan brosur tempat-tempat melancong di sekitar Perancis yang menarik yang dapat kami kunjungi. Ketika saya hamil anak ketiga, saya pastikan bahwa saya tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk perawatan kehamilan saya selain ongkos bis sebesar 1 Euro untuk pergi ke rumah sakit atau klinik yang sudah dipilih oleh pemerintah di sekitar tempat saya tinggal. Tak hanya itu, setiap bulan saya diwajibkan untuk memeriksa USG dan setelah memasuki usia 6 bulan saya mulai intensif diperiksa darah. Jika saya beresiko diabet atau penyakit lain saya akan dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar untuk diberikan pelatihan.


Pelatihan?


Ya, sebenarnya bukan pelatihan, lebih tepatnya pendidikan. Tapi bagi saya ini seperti pelatihan. Karena saya seperti dilatih untuk perduli dengan kesehatan saya sendiri. Betapa tidak? Pihak rumah sakit akan rutin mengingatkan saya mengenai jadwal kontrol ke rumah sakit. Jika saya absen, saya akan diberikan peringatan keras karena jadwal kontrol saya telah mengganggu jadwal kerja dokter atau petugas kesehatan secara keseluruhan. Disamping mereka menjadi khawatir karena proses persalinan semakin dekat, jika saya tidak mematuhi maka resiko besar ada di tangan mereka.


Hanya itu ?


Tidak, saya sangat terkejut. Karena ternyata menjelang kelahiran anak pemerintah akan memberikan bantuan sejumlah uang khususnya untuk masyarakat kurang mampu untuk membeli kebutuhan bayi. Jumlah uang tersebut disesuikan dengan kebutuhan nyata rata -rata orang yang akan melahirkan.


Harus ada laporan pengggunaan uang?


Tidak !


Karena kamipun akhirnya menggunakan yang tersebut untuk membeli ticket pulang pesawat setelah beasiswa suami saya tidak diperpanjang oleh lembaga yang memberikannya beasiswa. Ah, sungguh sebuah pengalaman yang tidak dapat saya lupakan. Saat paling sulit yang pernah kami alami. Ketika masalah datang secara bersamaan. Di tahun terakhir studi suami, tiba-tiba dosen pembimbingnya ditemukan tak sadarkan diri akibat pembuluh darah yang pecah. Tak bisa bicara. Di saat yang sama beasiswa suami saya dihentikan. Dan....saya harus melahirkan!


Saat pertama kali dalam hidup saya, saya mendapatkan bisul di beberapa bagian 'strategis' di tubuh saya. Di musim dingin yang pekat. Diantara salju yang tak lagi tampak menyenangkan saya memaksakan diri pergi ke klinik untuk memecahkan bisul saya. Sindiri, karena suami harus menjaga bayi di rumah. Saya dapat ceritakan ini lain waktu. Tapi, setidaknya, untuk pergi menemui dokter saya terbantu oleh jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah kepada saya. Untuk jenis obat tertentu, kami diberikan obat yang dapat ditanggung oleh lembaga asuransi dan pemerintah.


Ada lagi ?


Banyak ! Anak Anak kami pastikan hanya membayar uang sekolah sebanyak 5 euro/anak. Itupun bukan untuk uang sekolah. Tapi untuk membayar makanan di kantin sekolah. Negara menyediakan makanan yang dijamin kesehatannya. Artinya, 5 euro yang dibayarkan oleh kami tidak membedakan menu dengan Anak Anak lain yang membayar uang makan lebih mahal lagi. Karena biaya makan disesuaikan dengan penghasilan orang tuanya. Di Belgia, ada perbedaan yang cukup besar. Biaya makan di sini cukup mahal meskipun sekolah yang dikelola negara di sini gratis juga.


Baik di Belgia maupun di Perancis, khususnya untuk pendidikan sekolah dasar yang dikelola negara, mereka memiliki program yang pada intinya sama. Memberikan pendidikan yang sama untuk semua siswa. Hanya untuk konteks Belgia, anak anak diberikan mata belajaran pendidikan Moral. Dalam hal ini, sepanjang pengalaman saya misalnya, sekolah bekerja sama lembaga komunitas agama resmi menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan keinginan dan pilihan siswanya. Pilihannya antara pelajaran moral umum, atau pelajaran moral yang disesuikan dengan agama masing masing siswa. Tak sedikit loh masyarakat muslim yang memilih pendidikan moral umum daripada pendidikan agama.


Dalam sebuah kesaksian di sebuah konferensi misalnya, seorang kepala keluarga yang berketurunan Maroko menjelaskan bahwa dia lebih mendorong untuk memilihkna anaknya di pelajaran moral umum agar dia dapat berintegrasi lebih baik. Sebagai informasi, di Belgia, negara membuka kemungkinan bagi agama yang dianut oleh sekelompok masyarakatnya untuk didafatarkan menjadi salah satu agama yang dijamin secara hukum. Termasuk Islam. Namun bukan sebagai agama negara. Ketika sudah terdaftar secara resmi maka, kelompok agama ini dapat memperoleh berbagai fasilitas termasuk gaji para pemimpin agamanya, memperbaiki tempat ibadahnya, membangun tempat ibadahnya dan lain sebagainya. Hal ini yang tidak dapat kita temukan di Perancis.

Apa yang dilakukan oleh para guru sekolah dasar terhadap siswa siswinya ?

Saya merasa terdorog untuk memberikan perspektif kepada masyarakat di Tanah air yang tak sedikit melihat situasi di luar tanah airnya dengan tidak objektif. Pengalaman hidup di dua negara di Eropa membuka mata kepala dan mata hati saya. Setidaknya saya harus selalu hati- hati dalam memberikan komentar dan kesimpulan atas apa yang terjadi di suatu negara.

Kebetulan baik di Perancis maupun di Belgia, kami hidup di lingkungan 'populer'. Maksudnya adalah lingkungan di mana para pendatang pada umumnya tinggal. Dulu ketika tinggal di Perancis saya tinggal di la Chapelle. Lingkungan yang lebih banyak ditinggali oleh para pendatang dari berbagai negara konflik, miskin dan bekas jajahan Perancis. Para pendidik di sana, khususnya untuk sekolah dasar harus dibekali dengan ilmu tambahan. Tentang karakter para immigrant yang tentu sangat berbeda dengan masyarkaat lokal.

Pernah misalnya dalam sebuah kegiatan malam. Seorang ibu berkulit hitam yang baru datang dan menyekolahkan anaknya baru kurang lebih 2 Minggu tiba tiba mengamuk. Membanting banting kursi, berteriak memaki dan memarahi anaknya yang tidak terkendali.

Tidak terkendali?

Tentu saja ! Di sekolah semua saran permaian di sediakan. Segala jenis arena permainan diciptakan. Bisa dibayangkan, anak yang baru datang ini bagitu masuk ke dalam sekolah seperti masuk ke dalam surga maianan. Contoh yang lainnya misalnya pengalaman baru baru ini di kelas anak paling kecil kami, Alifa. Ketika di kesempatan bertemu dengan guru di kelasnya, kami sedikit curhat bahwa ada perubahan perilaku dari Alifa di rumah. Dia tiba-tiba sering merengek, bicara tidak jelas dengan suara parau. Hal yang tidak kami mengerti. Sebenarnya kami bertanya untuk mendapatkan informasi seputar perilaku Alifa di sekolah.

Jawaban dan penjelasan guru Alifa membuat kami tersentuh.

Ibu guru menjelaskan bahwa memang baru baru ini di dalam kelas kehadiran salah satu anak pengungsi dari Syiria. Beliau menjelaskan, selain masih kesulitan dalam berbahasa dan kebiasaan baru...tampaknya anak ini terbiasa menjerit dan seperti kehabisan suara, sebut saja Rayan. Tak hanya itu, Rayan seringkali menangi tiba tiba dan tampak sangat ketakutan ketika mendengar sesuatu yang mengaggetkan. Dia menduga bahwa, kesulitan bicara yang dialaminya disebbakan karena dia terlalu sering menangis dan selalu berada di dalam lingkungan yang penuh tekanan. Dia mengakui sangat sulit berada di dalam kelas dengan karakter dan latar belakang anak yang berbeda. Tak hanya Rayan, siswa lainnya adalah Samira (bukan nama aslinya) yang kehilangan kemampuan untuk menggerakan tubuhnya. Untuk ini, ibu guru yang baik hati ini mengajak siswa lain untuk membantunya.

Bagaimana dengan orang tua mereka?

Ketika saya di Perancis, banyak sekali lembaga sosial yang membantu para pendatang dengan berbagai program pelatihan. Termasuk di Belgia. namun ada pengalaman berkesan yang saya alami. Yaitu ketika saya memulai berlatih belajar bahasa Perancis. Saya belajar bersama dengan para pendatang lain dari berbagai negara. Pengalaman yang membuat saya terenyuh. Karena ternayta banyak sekali warga Perancis dan Belgia yang memberikan perhatian mereka dengan penuh kesabaran untuk membimbing para pendatang.

Saya ingat, sebut saja Jamila pendatang yang tidak hanya tidak berbahasa Perancis tapi juga tidak bisa menulis latin. Jamila dibantu tidak hanya untuk kemampuan bahasanya dan menulisnya tapi juga dicarikan pekerjaan dan tempat tinggal demikian juga bimbingan untuk mendapatkan ijin tinggal.

Tempat kursus ini menjadi tempat persembunyian saya disela sela saya mengurus anak anak selama menemani suami studi di Perancis.

Jadi,

Jika selama ini tak sedikit orang yang memandang buruk masyarakat di wilayah Barat. Kali ini saya mengajak anda semua u untuk berfikir kembali dan memperbaharui kesimpulan anda tentang "Barat".

Jika "Barat" buruk...mengapa orang pergi ke barat tidak ke timur?


----

Ilustrasi WC umum bersih dan nyaman


Louvain-la-Neuve, 20/07/2020


64 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


bottom of page