Seorang wartawan The Guardian, Daniel Boffey, pada tanggal 1 Agustus mempublikasikan sebuah artikel berjudul, “Dutch ‘burqa ban’ rendered largely unworkable on first day"
Sejak artikel ini disadur, telah dibagikan sebanyak 637 kali. Catatan ini diawali dengan laporan pihak kepolisian dan perusahaan transportasi di Belanda yang enggan memakasakan aturan ini pada masyarakat. Dengan berdasarkan pada aturan yang kemudian disebut dengan terma, “The Partial Ban on Face – Covering Clothing Act” ini maka penggunaan masker ski, helem tertututp, balaklavas, nikab dan burqa dilarang untuk digunakan di gedung gedung publik seperti di sekolah, rumahsakit, dan transportasi publik.
Aturan pelarangan penggunaan pakaian ini memberikan pilihan kepada para penggunanya untuk tetap menggunakannya atau diwajibkan untuk membayar denda sebesar 150 hingga 415 euro. Meskipun demikian, tidak ada pelarangan penggunaan pelengkap pakaian tersebut di tempat umum.
Namun dalam pelakasanaannya ternyata aturan ini mendapatkan hambatan setelah seorang polisi mengatakan bahwa pelakasanaan akan aturan ini bukanlah prioritas dan mereka juga mengisyarakatkan ketidaknyamanan mereka atas gagasan yang membolehkan perempuan berhijab dapat menunda dirinya untuk memasuki kantor polisi untuk membuat suatu pengaduan yang tidak terkait (dengan hijabnya).
Demikian halnya dengan perusahaan transportasi yang memberikan respon terhadap posisi polisi bahwa mereka tidak mungkinkan meminta staf kereta, metro, tram atau bis untuk mengambil peranan dalam menerapkan aturan ini tanpa hadirnya pihak yang terkait.
Seperti yang diugkapkan oleh jurubicara perusahaan transportasi RET transport network, Pedro Peters, bahwa aturan ini tidak dapat diberlakukan. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa polisi telah memberitahukan kepada mereka bahwa aturan ini bukanlah aturan yang prioritas dan oleh karenanya mereka tidak dapat merespon setidaknya untuk hanya 30 menit tidak lebih. Dengan demikian, hal ini mengisyaratkan bahwa jika seseorang menggunakan burqa atau niqab diminta untuk menggunakan layanan public mereka, maka staf mereka tidak memiliki dukungan polisi untuk meyakinkan secara hukum atas apa yang harus mereka lakukan. Hal ini bukanlah tanggung jawab pegawai transportasi untuk menerapkan aturan dan menentukan akibatnya. Staf mereka hanya diinstruksikan untuk memberikan pengertian kepada penumpang berniqab mengnai aturan ini tapi membolehkan mereka untuk masuk ke dalam sarana transportasi.
Akibat dari kebingungan penerapan aturan ini, seorang editor dari koran konservatif Algemeen Dagblad menimbulkan sebuah hal yang menggemparkan karena menyampaikan pendapat bahwa mereka mereka yang tergannggu dengan menggunakan pakaian yang dilarang dapat menyebabkann seorang masyarakat ditangkap, hal yang kemudian dikonfrimasi oleh seorang polisi melalui twiternya.
Jumlah yang pasti pengguna burqa atau niqab di Belanda tidak dapat diketahui. Sebuah riset yang dilakukan di tahun 2009 oleh seorang professor bernama Annelies Moors dari universitas Amsterdam, memperkirakan hanya ada sebanyak 100 wanita yang mengeakan niqab (penutup muka) dan tidak lebih dari 400 Muslimah yang kadang-kadang melakukannya.
Sebenarnya undang – undang ini disahkan pada tahun 2016 oleh pemerintah koalisi Mark Rutte yang sebagaian besar merupakan tanggapan terhadap semakin populernya partai anti-Islam, partai kebebasan atau Freedom party pimpinan Geert Wilders.
Belanda adalah negara keenam yang memberlakukan pelarangan penggunaan penutup muka di gedung – gedung public. Sebuah trend yang sebenarnya diawali di Perancis di tahun 2011 saat di mana Nicolah Sarkozy mengatakan bahwa menutup kesluruhan muka (Fulla face veils). Dia mengatakan, ‘full-face veils were not welcome”.
Parti Nida di Rotterdam mengatakan bahwa mereka akan membayar denda penerapan aturan tersebut dan telah membuka akun untuk menampung mereka yang ingin berbagi Selain itu, Rachid Nekkaz, seorang pengusaha yang berasal dari Aljazair yang juga seorang aktifis, mengatakan bahwa dia akan membayar semua denda yang harus dibayarkan atas ataruna ini di Belanda.
Gubernur Amsterdam, Femke Halsema, telah mengekspresikan kecemasannya atas aturan ini terhadap otoritas kota dan otoritas hukum yang berharap untuk tidak memperdulikannya. Bahkan Amnesti Internasional menjelaskan bahwa pelarangan ini menyalahi hak peremuan untuk memilih pakaian mereka. Tapi Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa menerapkan di tahun 2014 aturan bahwa pelarangan tersebut tidak melanggar konvensi Eropa dalam hak asasi manusia.
Comments