The Washington Post pada tanggal 31 Juli 2019 memuat sebuah artikel yang berjudul ‘Banana Republic is selling hijabs. Muslim shoppers wonders : Is it inclusion or appropriation?”. Berita ini di muat di kolom bisnis oleh seorang penulis bernama Abha Bhattarai.
Dari judul yang disampaikan menunjukan sebuah keraguan antara ‘inklusi’ sebagai sebuah bentuk pengakuan atau ‘appropriation’ sebagai sebuah bentuk penyesuaian karena permintaan publik atas sebuah pertimbangan tertentu.
Dengan bergambar dua orang muslim berhijab dengan dua model yang berbeda, dijelaskan bahwa jilbab tersebut dijual seharga 40 dolar dan 50 dolar untuk sehelai kain yang diterbuat dari bahan satin. Produk ini dimasukan ke dalam kategori aksesoris yang diusung sebagai sebuah jawaban atas keragaman pelangan dan pekerja mereka.
Oleh para analis hal ini pandang sebagai sebuah perubahan perilaku pelaku usaha ritel mengikuti berkembangnya popularitas apa yang mereka sebut sebagai ‘modest cloting lines and hijabs’ yang dilatar belakangi oleh sikap para pengecer akan keragaman dan inklusi di tengah – tengah masyarakat. Mereka berlomba – lomba untuk meraup untung dari ceruk pasar perubahan yang massif ini. Untuk itu, mereka menjual produk melalui website mereka untuk dapat meraih pasar yang selama ini tidak dilirik oleh pasar tradisional, yang tentu target mereka adalah menyediakan stok untuk penjualan yang sebesar besarnya untuk para konsumen.
Penulis juga menjelaskan bahwa, para ritel besar seperti Mercy’s dan Uniqlo, sudah mulai memperhitungkan para ‘shoppers’ Muslim akhir – akhir ini dengan menambahkan berbagai jenis barang dagangan mereka seperti hijab dan berbagai barang yang disebut penulis sebagai ‘modest fashion’ diantaranya tunik ‘high – neck’ dan cardigan ‘floor-length’. Demikian juga dengan pasar produk Nike dengan merek dagang yang mereka kategorikan ke dalam produk yang ‘its pro Hijab’ bagi para atlet muslim, sementara itu American Eagly menjual denim hijab seharga 20 dolar. Penutup kepala yang saat ini sudah dipergukana oleh Muslimah yang saat ini juga dapat dilihat dipergunakan di kongres, dan di sampul majalah olah raga renang tahunan, yang tahun ini diperkenalkan oleh seorang model keturunan Somalia – Amerika, Halima Aden, dalam bentuk hijab dan burkini.
Seorang co-founder lembaga nir-laba the American Muslim Consumer Consortium, Sabiha Ansari, menjelaskan bahwa teradapat tren yang menunjukan mulai bergeliatnya para pelaku usaha mainstrim setelah melihat fakta akan tingginya nilai yang dapat diperolah dari konsumen Muslim. “Sekali saja mereka mengenalinya, maka itu adalah pertanda baik (bagi pasar)”, begitu dia menjelaskan.
Tak hanya itu. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Thomson Reuters yang dipublikasikan di dalam the global Islamic economy report di tahun2016 bahwa para konsumen Muslim mengeluarkan sekitar 264 milyar dolar untuk berbelanja pakaian. Kemunginan, angka ini akan meningkat hingga 373 milyar dolar di tahun 2022.
Benar – benar sebuah keputusan yang sangat pragmatis. Seperti yang diungkapkan oleh Wendy Liebmann seorang chief executive konsultan ritel terkemuka WSL Strategic bahwa retail memiliki kebutuhan untuk memenuhi permintaan siapapun yang ingin berbelanja. Mereka ini adalah pangsa pasar yang juga memiliki kebutuhan untuk dipenuhi kebutuhkannya seperti konsumen yang lainnya. Pertanyaan kemudian adalah, mengapa hal ini tampak menjadi bagitu lama ?
Salah satu jawabannya adalah mungkin bersifat sangat politis. Perusahaan secara meningkat sangat perhatian terhadap berbagai macam isu – mulai dari isu lingkungan hingga isu imigrasi – sebagai bagian dari respon atas retorika memecah belah (divisive) ala Trump. Menjual hijab secara ‘online’, seperti yang dikatakan oleh Wendy Liebmann dapat diartikan sebagai sebuah jalan bagi seorang retailers untuk memperlihatkan bahwa siapapun diundang untuk mendapatkan produk mereka”.
Banana republic yang merupakan milik dari perusahaan pakaian GAP, telah melalui masa keungan yang sulit akhir akhir ini, karena harus bersaing dengan para pesaing jaringan lini masa ( online) baru dan pelaku usaha dalam bidang fashion yang begitu cepat pergerakannya. Di gerai toko penjualan mereka telah mengalami penurunan penjualan sebanyak 3% pada kuartal terakhir.
Kondisi ini membuat para konsumen ‘shopers’ kemudian bertanya – tanya karena merea merasa berada di dalam situasi konflik yang tampaknya membawa para retiler pada sebuah bisnis hijab yang cukup besar. Jadi, para penjual ini menjual barang dagangan mereka atas dasar semangat inklusi atau hanya sebagai sebuah bentuk appropriation ‘penyesuaian’ akan sebuah symbol agama demi tujuan esensi mereka ‘for the sake of their bottom line’ ?
Situasi yang kemudian membuat seorang ‘fashion blogger’ Leena Snoubar, 25 tahun, merasakan bahwa para riteler ini sedang memanfaatkan sebanyak mati – matian dari para pembeli Muslim. Curahan hati ini disampaikan di dalam instagramnya yang memiliki kurang lebih 800.000 pengikut. Meskipun demikian dia menyamaikan bahwa hal ini seperti bentuk normalisasi hijab dan membuat dirinya lebih dipandang sebagai bagian penerimaan ‘included’.
Tulisan ini ditutup dengan pengakuan seorang pekerja jasa perawatan, Snoubar, yang diminta oleh Banana Republic untuk mempromosikan produk mereka di jaringan online di media sosial. Menurutnya, produk Banana Republik ‘leopard – print hijab’ yang dia terima sangat indah. Tapi dia lebih memilih untuk berbelanja di jaringan bisnis milik muslim seperti Haute Hijab dan Voile Chic dengan mengatakan , ‘that is where my loyalties lies’.
Catatan ini disadur dari sumber aslinya di whashingtonpost.
Commentaires