top of page
Writer's pictureIma Sri Rahmani

Antara Terorisme dan Burkini di Perancis

Updated: Jul 24, 2020



Burkini adalah pakaian yang biasa digunakan oleh wanita muslimah ketika berenang baik di kolam renang umum maupun untuk bermain air di tepi pantai. Berbeda dengan pakaian renang kebanyakan, burkini menutupi hampir keseluruhan tubuh termasuk rambut kecuali muka. Merupakan kreasi berbusana muslimah yang diciptakan oleh seorang muslimah kelahiran Libanon yang hijrah menuju Australia, Aheda Zanetti di tahun 2004.


Kehadirannya ternyata mengundang polemik, tak pelak, polemik muncul seiring dengan munculnya fenomena Islamophobia menyusul serangan terrorisme yang dilakukan di beberapa negara eropa khususnya di Perancis terutama di musim panas, di mana tak sedikit muslimah melawatkan hari libur mereka untuk menikmati lautan bersama keluarga dengan mengenakan burkini. Di Perancis, setidaknya telah terjadi 73 kali serangan teroris, dan sebanyak 25 serangan diantaranya adalah terjadi di musim panas yang dilakukan oleh mereke yang mengklaim diri sebagai bagian dari ISIS.


Sejak saat itu kemudian burkini menjadi bagian dari debat tak berkesudahan di Perancis terutama ketika musim panas menjelang. Diawali dengan kebijakan la maire (pemimpin daerah) Cannes, David Lisnard , yang mengeluarkan aturan pelarangan burkini pada tanggal 28 Juli 2016 di pantai dan denda sebesar 38 euro dengan pilihan : berganti pakaian atau keluar dari pantai. Hal ini dilakukan dengan dalih pakaian ini tidak higienis dan mengancam keselamat penikmat pantai yang lainnya. Lebih jauh lagi, menurutnya burkini adalah pakaian yang mencolok yang memiliki kaitan dengan keagamaan yang saat ini tengah tersangkut kasus terorisme (agama Islam) dan merupakan symbol ekstrimisme.


Kebijakan ini kemudian diikuti oleh wilayah yang lainnya, yaitu Villeneuve-Loubet yang ditetapkan oleh Lionel Luca pada tanggal 13 Agustus 2016 sebagai pemimpin daerah setempat dengan alasan yang kurang lebih sama. Meskipun demikian, kebijakan ini kemudian dihentikan pada tanggal 26 Agustus 2016 oleh mahkamah negara (le conseil d'Etat) dengan diusung oleh La Ligue du Droit de L'Homme dan Collective Contre l'Islamophobie en France (CCIF) karena dipandang menyelahi hak asasi yang paling fundamental yatu kebebasan untuk datang dan pergi, kebebasan untuk berkeyakianan dan kebebasan personal : L’arrêté litigieux a ainsi porté une atteinte grave et manifestement illégale aux libertés fondamentales que sont la liberté d’aller et venir, la liberté de conscience et la liberté personnelle.


Menurut Gérard Mauger, polemik terjadi dalam hal menginterpretasikan keberadaan burkini di wilayah umum dan menjadi bagian dari bangunan fenomena Islamofobia di Perancis. Setidaknya terdapat tiga kelompok yang saling berdebat, yaitu mereka yang menolak dengan ide pelarangan ini, mereka yang mendukung dan mereka yang memang menggunakan burkini (muslimah). Sudah dapat dipastikan, mereka yang menolak memiliki alasan seperti yang dijelaskan di atas. Adapun mereka yang mendukung memiliki dua kecenderungan alasan. Pertama, bagi mereka burkini adalah satu pakaian yang dapat mengundang provokasi dari kelompok Integrist. Kedua, adalah mereka yang berpendapat bahwa burkini adalah salah satu bentuk praktek seksis (menyangkut pembatasan hak kebebasan berbasis gender : perempuan) dari satu tradisi keagamaan yang patriakal. Dengan kata lain, burkini adalah simbol subordinasi perempuan dalam bentuk pakaian.


Beberapa orang yang kemudian termasuk di dalam kelompok yang pertama di antaranya adalah Immanuel Valls yang pada tahun 2016 menjabat sebagai perdana mentri Perancis mengatakan bahwa ," C'est pour cela que l'État ne doit pas céder d'un pouce face à l'islamisme radical". Le burkini est "une provocation". Dalam hal ini dia menegaskan bahwa negara tidak akan memberikan kesempatan sekecil apapun terhadap kehadiran Islamisme Radikal (di Perancis). Baginya burkini adalah sebuah bentuk provokasi (bentuk Islamisme radikal). Leih jauh lagi dia menegaskan bahwa burkini tidak sesuai dengan nilai - nilai (budaya) Perancis. Meskipun dia mendukung pelarangan burkini,namun dia secara diplomatis menyatakan hal tersebut tidak menjadi satu ketetapan hukum. Selain itu ada juga Nathalie Heinich seorang sosiolog yang berpendapat bahwa burkini adalah satu bentuk tampilan perilaku yang memanifestasikan kepatuhan pada satu konsep Islam yang fundamental. Menurutnya pernyata akan pelarangan burkini bukan berarti menjadi Islamofobia tapi sebagai satu bentuk perlawanan terhadap sebagian minoritas di antara masyarakat muslim yang berharap untuk memaksakan sebuah konsepsi Islam ekstrimis dan totaliter di ruang publik. Meskipun kemudian pendapat ini mendapatkan kritikan dari Henri Lourdou yang cenderung mempertanyakan konsep ekstrimis dan totaliter yang digunakan Nathalie yang menurutnya tidak porposional.


Mereka yang termasuk di dalam kelompok yang kedua, selain Manuel Valles juga ada Laurence Rossignol yang berpendapat bahwa burkini sungguh merupakan bagian dari masa lalu (archaïque) untuk itu kita harus melalukan perlawanan dengan tanpa ada motif apapun agar tidak jatuh dalam jebakan hukum yang sangat ketat yang tidak mengharapkan seseorang untuk dapat maju ke depan. Hal ini merupakan bagian dari bentuk pemenjaraan tubuh wanita agar lebih mudah untuk dikontrol karena dibalik nya terdapat satu visi yang sangat mendasar yang bersifat arkhaik terkait dengan tempat wanita di dalam kehidupan bermasyarakat dan hubungan antara laki - laki dan perempuan. Selain itu juga ada Philippe d'Irbarne yang berpendapat bahwa burkini menjadi sulit untuk dapat diterima di masyarakat oksidental karena pakain ini merupakan satu tanda yang bertentangan nilai nilai dasar tentang egalitas antara laki laki dan perempuan. Baginya burkini merupakan satu pakaian yang memproklamirkan penolakan akan keseteraan tersebut yang membuat muslimah menjadi sulit untuk melakukan integrasi di dalam masyarakat non muslim. Dan sikap alarmis tampak menjadi bagian dari pedapatnya bahwa kenyataa di lapangan sebuah proyek yang ditujukan untuk menyebarkan penggunaan burkini telah tersebar luas dan episode baru tengah berkembang mengenai tema ini. Dia mempertanyakan mengenai kecukupan upaya yang sudah dilakukan untuk hal ini sebelum akhirnya benar benar terlambat.


Perjalanan yang panjang dan berliku. Karena kenyataanya serangan terorisme menjadi bagian dari analisis dari sebuah pakaian yang disebut burkini. Yang mungkin, pemakaianya sediri tidak pernah bisa memahami, mengapa pakaian ini menjadi tampak "sangat" menjijikan dibanding mereka yang bertelanjang dada membakar tubuhnya di muka umum.


 Pertanyaan yang berkembang kemudian, " Di mana la laïcité dapat ditempatkan untuk dapat mengambil peranan ?" . Dan, saya kemudian mempertanyakan judul artikel saya di atas? Sebenarnya apa yang sedang dibicarkan, karena ide tentang terorisme dan burkini sangat mebuat saya bertanya-tanya, mungkinkah para pelaku teroris itu dapat bertahan di tengah tengah masyarakat tepi pantai yang mengumbar aurat ? Karena, kenyataannya polemik ini dipicu oleh serangan terorisme.


Louvain-la-Neuve 26 Septembre 2016





22 views0 comments

コメント


bottom of page