top of page
Writer's pictureIma Sri Rahmani

Olivier Roy : Tentang Radikalisasi Agama

Updated: Jul 24, 2020



 

Olivier Roy adalah seorang ahli politik berkebangsaan Perancis yang telah banyak memberikan kontribusi dalam kajian Islam di Perancis .Pandanganannya mengenai berbagai isu mengenai agama khususnya Islam di Perancis menarik banyak perhatian dan mengundang polemik. Salah satunya adalah pandangannya mengenai konsep radikalisasi agama yang kini disematkan pada agama Islam menyusul serangkaian serandangan terorisme di Perancis.


Polemik tentang radikalisasi agama ini muncul seiring dengan munculnya penapat yang menyatakan bahwa serangan teroris tidak memiliki hubungan dengan Islam sebagai sebuah agama. Kecenderungan cara pandangan yang kemduian dikenal dengan istilah "n'a rien avoirisme" ini muncul beriringan dengan pertanyaan mengenai pergerakan Jihadisme di Perancis. Wacana yang kemudian muncul adalah wacana yang berusaha untuk mejawab pertanyaan sentral : jika serangan "jihadisme" tidak ada hubungannya dengan Islam (baca :agama), lalu mengapa para pelaku melakukan tindakan tersebut ? Pertanyaan tersebut membawa pada satu terma yang lain yaitu : Radikalisasi Agama.


Mengenai hal ini dalam artikelnya Gérard Mauger menjelaskan akan pentingnya mengetahui dan membedakan dua hal dalam sebuah wacana yang menjadi alasan/penjelasan (baca : raison dan causes) yang melatar belakangi suatu perilaku Terkait dengan fenomena Radikalisasi: raison religieuses dan causes social. Dalam Bahasa Indonesia, raison memiliki makna 'penjelasan logis' sedangkan causes memiliki makna sebagai 'sebab akibat'. Proses memahami yang berakar pada cara berfikir ala Wittgenstein ini mekaidahkan pentingnya memberikan jarak antara 'raison' dan 'causes' yaitu antara penjelasan logis (yang dapat berupa penjelasan filosofis, dan historis) dan juga penjelasan sebab-akibat (yang dapat berupa penjelasan sosiologis, antropologis, dan psikologis). Dengan demikian akan dapat dipahami latar belakang pendorong yang berupa raison sebagai produk kreatifitas berfikir dan bereaksi terhadap situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dengan penyebab (causes) yang mendorong seseorang berfikir dan berperilaku. Adakah penyebab khusus yang membuat seseorang berfikir dan kemudian bertindak?


Sebelum membahas lebih jauh pendapat Olivier Roy mangenai Radikalisasi, terlebih dahulu perlu dipahami makna dan maksud dari kata Radikalisasi. Farhad Khosrokhavar di dalam bukunya yang berjudul Radicalisation yang terbit tahun 2014 menjelaskan bahwa Radikalisasi adalah sebuah proses yang di dalamnya individu atau kelompok mengadopsi suatu bentuk tindakan pengalanggaran (violente d'action) yang secara langsung terhubung dengan suatu ideologi ekstrimis yang memiliki muatan politik, sosial, atau agama yang menentang tatanan yang sudah terbangun dalam sebuah rencana yang bersifat politik, sosial dan budaya. Dengan demikian dapat disimpulkan Radikalisasi adalah sebuah proses yang memiliki esensi yang kuat untuk mencoba mempertanyakan berbagai hal yang telah ada dan tertata di dalam kehidupan politik, sosial dan budaya.


Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa sebagai sebuah proses, Radikalisasi ini kerap menggunakan terma 'born again' atau disebut juga sebagai désislamisme bagi mereka yang terjaring atau terlibat di dalamnya. Sebuah keyakinan yang dimaknai mendalam sebagai bentuk pemurnian spiritual (spiritual purification)dari berbagai nilai yang dianggap 'tidak benar' yang pernah dimiliki sebelumnya yang kemudian dapat ditransfer ke dalam bentuk perlawanan politik (political strugle) dan sebagai bentuk pengorbanan diri (self sacrifice) untuk sesuatu yang dianggap lebih benar/lebih baik terutama dilakukan oleh mereka yang pada awalnya cenderung tidak perduli terhadap agama.


Hal ini terjadi karena, seperti yang diungkapkan oleh Jean Birnbaum , dalam pandangan awam,jika agama dianggap sangat serius dan efektif dalam menjawab persoalan kehidupan maka sulit untuk menolak ajakan atau tawaran (offre d'Islam; baca : tindakan jihadist dan turut di dalam proses radikalisasi). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terma Radikalisasi saat ini memiliki signifikansi yang negatif, mengandung masalah dan berisi kesedihan dan penderitaan. Karena dihubungkan dengan proses atau alur menjadi radikal yang secara progresif akan berakhir pada paham djihadisme berupa serangan teror yang merenggut korban jiwa. Apakah tindakan ini benar-benar berawal dari raison agama? Dan, causes sosial yang seperti apa yang menjadi latar belakang tindakan tersebut ?


Pertanyaan tersebut menjadi perdebatan para Islamolog di Perancis, termasuk Olivier Roy. Menjadi menarik, karena pandangannya terhadap fenomena ini membuat polemik. Media Perancis disuguhi berbagai argumentasi intelektual yang sangat menggugah dan mencerahkan baik bagi mereka yang setuju maupun yang tidak setuju. Dalam hal ini, perdebatan terjadi dengan Islamolog Perancis yang lainnya yaitu Gilles Kepel. Siapa yang tak kenal Kepel? Seorang Islamolog dan ahli dalam kajian dunia arab kontemporer. Kali ini saya tidak akan membahas perdebatan di antara mereka tapi saya tertarik untuk menelaah terlebih dahulu pemkiran Olivier Roy mengenai Radikalisasi.


Idenya yang pertama adalah mengenai konsep 'islamisation de la radicalité' dapat diterjemahkan sebagai proses islamisasi di dalam suatu tindakan radikal.Sebuah pemahaman yang langsung meaghubungkan antara Islam tindakan radikal. Menurutnya, tindakan terorisme terkait dengan 'Islamisation de la radicalité' bukan dengan ' Radicalisation de l'islam' . Hal ini bukan untuk membebaskan Islam, tapi mengajak kita untuk memahami mengapa dan bagaimana para pemuda pemberontak ini menemukan sebuah paradigma absolut di dalam Islam terkait dengan tindakan pemberontakan mereka (yang seolah olah membenarkan tindakan mereka). Mereka bukanlah orang yang percaya karena latar belakang oportunis (tujuan tertentu). Tetapi mereka menjadi subjek pencari paham radikalisme di pasar radikalisme yang ada saat ini, yaitu Islam yang dianut oleh kelompok ISIS. Karena ISIS adalah satu satunya kelompok yang mengglobal yang ada satu satunya yang termasuk ke dalam kriteria radikal. Keahlian ISIS ini di dalam merayu kelompok muda yang sangat paham akan kode dan budaya kelompok muda memfasilitasi proses yang terjadi di dalamnya. Dengan menawarkan suatu tujuan estetika kepahlawanan dan kekerasan yang sangat modern.


Diapun menyatakan ketidak setujuannya dengan istilah 'la radicalisation religieuse'. Hal ini sangat bertentangan dengan pendapat Gilles Kepel. Bagi Olivier Roy, para teroris muda ini menjadi teroris tidak melalui salafisme. Karena hal ini seolah olah mengkaidahkan bahwa kita dapat mendefinisikan suatu bentuk yang 'moderat' terhadap sebuah agama padahal tidak ada agama yang moderat. Yang ada hanyalah para penganutnya yang moderat. Untuk menyatakan pendapatnya ini, Olivier Roy menggaris bawahi bahwa dirinya tidak memungkiri terdapat berbagai persoalan kemasyarakatan yang diberikan oleh kelompok salafis khusunya dalam hal keinginannya untuk membentuk negara dan terlepas dari negara asalnya. Tapi tidak ada kaitannya sama sekali dengan tindakan kekerasan teroris.


Terlebih lagi, Salafis menurutnya tidak memiliki ajaran mengenai kecintaan untuk kematian atau kebencian akan kehidupan. Dengan memahami Salafisme dari sudut pandang terorisme, dan menjadikannya sebagai gerbang menuju terorisme, lalu seseorang memberikan sebuah alasan terhadap ISIS yang menyatakan dirinya sebagai agama Islam yang paling benar.


Terlepas dari perdebatan hubungan antara ISIS dan paham Salafisme, sebagai bentuk tindakan radikal, jihadisme pada kenyataannya memang menyentuh berbagai kalangan masyarkat (khususnya di Perancis). Dalam hal ini, kalangan muda marginal adalah satu kelompok yang paling rawan terpapar. Selanjutnya ciri ciri dari kelompok ini pada umumnya dapat berasal dari kalangan muda muslim, dan dapat juga berasal dari kalangan muda yang pindah agama (convertis).


Lalu, dalam keberagamaan, meraka adalah kelompok yang berada pada tahapan sedang proses pencarian. Mereka tidak terhubung dengan suatu komunitas keagamaan lokal (seperti masjid di lingkungan tempat tinggal mereka). Lebih dari itu, mereka bukanlah orang - orang yang mendapatkan predikat salafis di dalam masjid tapi mereka menjadi masuk ke dalam pusaran radikalisasi melalui internet. Artinya mereka adalah remaja yang memiliki ketertarikan untuk mendapatkan informasi melalaui internet. Mohammad Merah adalah salah satu contoh yang dipandang paling representatif.


Sebagai catatan, dalam hal ini Gérard Mauger berpendapat bahwa proses (penerimaan dan keterlibatan didalam kelompok jihadis) ini tidak terdistribusi secara spontan di dalam ruang publik. Oleh karena itu, adalah hal yang menarik untuk dicermati bagaimana kemudian ruang publik menjadi perebutan otorisasi identitas di Eropa saat ini. Mungkin akan saya jelaskan di dalam tulisan yang lainnya. Lebih jauh Olivier Roy berpandangan bahwa para anak muda yang jatuh di dalam paham terorisme juga dilatar belakangi oleh keinginan yang besar untuk melakukan tindakan violente (kekerasan) yang kemudian terealisasi bukan dalam sebuah proses yang lambat di dalam komunitas muslim itu sendiri.


Karakteristik selanjutnya adalah bahwa mereka yang terlibat dalam radikalisasi adalah serigala soliter yang terpencil dan tersembunyi (un loup solitaire). Pendapat ini menarik berbagai opini. Namun dalam pandangan Olivier Roy, pada umumnya mereka adalah individu - individu yang terisolasi atau tergabung dalam satu kelompok kecil anak muda yang tertanam di depan komputer pribadi mereka dan menikmati berbagai suguhan informarsi yang disampaikan secara heroik di website milik kelompok al-Qaida atau ISIS. Sehingga meraka hidup dan tersesat di dalam sebuah komunitas imaginer dan terisolasi dalam dunia nyata.


Tak jarang diantara mereka tampak memiliki tampilan yang normal atau juga bahkan tampak menderita akibat berbagai masalah yang bersifat psikiatris atau masalah kejiwaan. Mereka justru lebih banyak berbaur dan tergabung di dalam masyarakat Perancis dibanding masyarakat muslim sendiri. Gérard Mauger kemudian menyebutnya sebagai gejala psikopatologi yang mendunia (psychopathologie mondialisé).


Mekanisme radikalisasi ini menurutnya tidak terjadi di dalam islam tradisional tapi terjadi pada kaum muda yang tersesat yang merupakan generasi nihilsme yang tersentuh globalisasi dan sangat tertarik dengan kematian. Dalam hal ini dia menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam konsep nihilisme, kematian adalah projek individual dari seorang teroris jihadis.Dimensi nihilisme menjadi sangat sentral. Artinya, kekerasan bukanlah sebuah alat atau media tapi justru akhir dari proses tersebut. Kematian bukanlah sebuah kemungkinan atau konsekuen dari suatu tindakan yang menyakitkan, tapi justru bagian sentral dari projek tersebut. Mereka mati bersamaan dengan dunia yang mereka tolak.


Dalam prosesnya, media menjadi bagian yang sangat vital. Karena dapat merealisasikan tujuan dengan menjadikannya sebagai wahana bagi aksi yang lebih nyata. Kontribusi al-Qaida dan ISIS dalam menyebarkan sindrom 'psychopathologie mondialisé' melalui berbagai tulisan heroik yang dapat direduksi ke dalam bentuk di dalam wahana pertempuran yang nyata menjadi mudah didapatkan oleh mereka yang memiliki frekwensi yang sama.


Berdasarkan uraian di atas menjadi bagian análisis yang menarik sebagai bagian dari upaya untuk menjawab pertanyaan mengenai la raison religieuse dan la cause social yang mengintari persoalan Radicalisation Jihadists. Untuk tidak mempersepit perspektif, saya serahkan kepada pembaca untuk menyimpulkannya.


Louvain - la -Neuve, 23 September 2018









38 views0 comments

Comments


bottom of page