Tak dapat dipungkiri, perjalanan panjang hajat politik di Indonesia ini telah menggerus sendi sendi kehidupan berbanggsa dan bernegara. Perbedaan pandangan politik dengan berbagai isu yang diusung tampaknya tanpa disadari telah menciptakan dinding pemisah yang membuat setiap orang tampak berada dalam kotak yang berbeda. Antara satu dengan yang lain saling mengisolasi lawan politik dengan dengan berbagai cara. Mulai dari jargon politik dengan istilah poros X dan poros Y sampai sebutan kelompok masyarakat X dan kelompok masyarakat Y. Perseteruan ini tak hanya terjadi di dunia maya, bahkan hingga di dunia nyata. Meliputi sel kehidupan paling kecil yaitu keluarga.
Padahal berdasarkan reset, isolasi sosial dipandang sebagai persoalan psikososial yang berbahaya sehingga sangat beracun dan ditemukan memiliki hubungan yang tinggi dengan resiko kematian. Tak hanya bagi manusia dewasa tapi jugapada anak usia dini. Salah satu bentuk isolasi sosial yang kerap dilakukan adalah merundung (bulliying). Perundungan (bully) adalah satu tindakan agresif yang berupa tekanan terus menerus dengan memberikan ancaman yang bersifat langsung (dalam bentuk perilaku nyata) maupun tidak langsung (dalam bentuk psikologis) terhadap korbannya yang tujuannya untuk menyakiti. Tak jarang berakhir dengan tragis : bunuh diri. Meskipun pada awalnya fenomena ini khas kerap dilakukan di lingkungan sekolah, namun pada kenyatanyaannya hal ini juga terjadi di berbagai ranah kehidupan.
Dampak Isolasi Sosial
Mengapa isolasi sosial menjadi sangat berbahaya? Mesikpun penjelasannya sangat sederhana, namun pada kenyataanya hal ini tidaklah mudah untuk diatasi. Karena berbeda dengan tekanan hidup yang lainnya, isolasi sosial dapat menghantam selfesteemseseorang secara langsung. Self-esteem(keyakinan diri terkait nilai dan harga diri) berbeda dengan keyakinan diri, dalam hal ini penulis lebih memilih kata yang sepadan dalam bahasa Indonesia adalah ‘kemantapan diri’ yang muncul dari penilian positif terhadap diri sendiri, rasa diri berharga. Ketika tekanan kehidupan mampu menghancurkan self-esteemseseorang maka kondisi ini dapat mempengaruhi fisik dan psikis secara bersamaan.
Ketika self-esteem terancam, dua komponen tubuh yang bereaksi terhadap kondisi distress adalah sistem syaraf simpatis atau SNS (Sympathetic Nervous System) dan Axis HPA (Hypothalamic Pituitary Adrenocortical). SNS sangat penting dalam proses metabolisme tubuh yang merespon signal ancaman dengan meningkatkan tekanan darah, debar jantung, dan sirkulasi udara untuk menstimulasi ketersediaan asam lemak dan glukosa yang merupakan sumber energi. Sementara itu Axis HPA bertanggung jawab dalam menyediakan cortisol yang dapat membantu memperbaiki mekanisme pertahanan dan sistem keseimbangan yang diakibatkan oleh adanya ancaman.
Di saat yang sama, secara psikologis manusia terdorong untuk melakukan antisipasi, coping.Selama ini dikenal dua mekanisme coping stres yang kerap dilakukan yaitu Fightdan Flaight. Sesuai dengan arti katanya, Fightberarti perlawanan berupa tindakan antagonis dan flaightyang berarti terbang atau menarik diri (lari dari persoalan). Namun demikian, kedua mekanisme coping ini dipandang tidak efektif. Alih-alih meredam stres, justru tetap menstimulasi stresberkembang karena persoalannya tidak terselesaikan sehingga kondisi distresmenjadi lebih parah karena seungguhnya persoalan yang dihadapi bersifat sosial namun tidak diselesaikan secara sosial.
Jika respon tubuh baik fisik maupun psikologis terkait distresini terjadi sekali dua kali saja, tentu baik imbasnya terhadap tubuh. Karena memberikan kondisi waspada. Sehingga tubuh menjadi bugar dan segar walaupun dalam kondisi distres. Namun karena kamampuan tubuh dalam merespon kondisi distresssangat terbatas maka jika terjadi terus menerus maka sistem metabolisme akan menjadi kacau dan secara psikologis memberikan imbas yang negatif. Seperti dalam kondisi Hal ini yang dapat mendorong timbulnya berbagai penyakit.
Sebagai alternatif Shelly Taylor di di tahun 1998 menawarkan sebuah konsep mengatasi stress denganTending dan Befriending. Konsep ini meyakini bahwa persoalan sosial harus diselesaikan secara sosial. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah kondisi alamiah. Karena ternyata di saat kondisi distresakibat isolasi sosial yangterjadi sesungguhnya adalahsistem hormon oxytocindan opioiddi dalam tubuh juga diaktifasi. Seperti diketahui hormon oxytocinmenstimulasi tindakan sosialisasi/berafiliasi dan cairan opioid memberikan perasaan tenang dan nyaman. Keduanya menstimulus dikeluarkan neurotransmiterdopamin yang memberikan perasaan senang dan bahagia. Kedua sistem ini dapat meredam ketegangan yang muncul menyertai peristiwa distress, khususnya karena isolasi sosial. Sistem ini, mendorong seseorang untuk melakukan afiliasi dan bersosialisasi.
Refleksi dan Solusi
Dengan demikian, sesungguhnya tubuh sudah secara otomatis mendorong ke arah sosialisasi dibanding tindakan antagonis atau menarik diri. Dengan kata lain bersosialisasi dan membangun komunikasi positif adalah fitrah yang sudah terberi. Berdasarkan riset mekanisme Tendinglebih banyak dilakukan oleh perempuan dibanding laki-laki. Hal ini terjadi diantaranya karena produksi hormon oxcytocinterbanyak terjadi di sepanjang masa pengasuhan ataupun masa perawatan anak. Terutama disaat selepas masa persalinan. Hal yang hanya dialami oleh perempuan. Riset membuktikan, ibu yang memberikan ASI ditemukan memiliki tingkat kecemasan, depresi dan stres yang lebih rendah dibanding ibu yang memberikan botol susu.
Demikian pula dengan Befriending. Kecenderungan berbagi, saling memberikan dukungan dan terlibat dalam pertemuan rutin berdasarkan riset lebih banyak ditemukan pada kelompok perempuan dari pada laki-laki. Sehingga menurut riset yang dilakukannya, perempuan ditemukan lebih sehat dan lebih memiliki harapan hidup lebih besar dibanding laki – laki.
Mekanisma mengatasi distressdengan konsep Tending/Befriendingini mengingatkan kita pada seruan Nabi Muhammad dari Anas bin Malik, “ Barangsiapa ingin dilapangkan baginya rezeki dan dipanjangkan untuknya umurnya hendaknya ia melakukan silaturahim” (HR. Bukhari dan Muslim). Tentu saja, karena berdasarkan analisis di atas, membuka diri dan menjalin hubungan baik dengan orang lain (silaturahmi) dapat memberikan implikasi yang luar biasa terhadap kesehatan. Tak hanya itu, dalam menghadapi distressakibat isolasi sosial, mekanisme ini memberikan ruang komunikasi yang lebih luas yang bukan tidak mungkin dapat memberikan implikasi pada rezeki.
Dengan demikian, solusi distress akibat isolasi sosial dalam perspektif ini bermakna lebih positif dibanding memberikan reaksi frontal yang membahayakan jiwa. Menyalahi fitrah tubuh tentu akan menimbulkan persoalan bagi tubuh sendiri. Yang pada akhirnya dapat mengganggu metabolisme dan menimbulkan penyakit. Dengan meninggalkan perselisihan dan membangun persahabatan sesungguhnya tidak hanya menciptakan relasi yang menyenangkan, tapi juga menyehatkan.
Oleh sebab itu, gonjang ganjing pertikaian akibat politik ini sewajarnya tidak membawa pada perpecahan dan pertikain yang merugikan. Jika para petinggi politik tak juga mampu menciptakan kondisi yang kondusif, ada baiknya masyarakat menghadapinya dengan senyuman. Dengan kesadaran bahwa, kesehatan lebih penting untuk dipertimbangkan. Jadi, bersilaturahimsatu dengan yang lainjauh lebih baik. Wallahualam.
Comentarios