Di negara minoritas muslim, sehelai kain di kepala menjadi debat yang tidak berkesudahan. Hal tersebut dianggap elemen keagamaan yang dilarang ditampilkan di ruang publik.
Dapat dipahami, negara seperti Prancis misalnya, seperti diuraikan Mathieu Guidère dalam bukunya La guerre des islamismes, pengalaman mereka berabad-abad menjalani perang saudara berlatar belakang agama sejak abad XIV antara Katolik dan Protestan hingga berakhir dengan meninggalnya Raja Loius XIV pada 1715, menyisakan sejarah suram yang tidak ingin mereka ulang. Hingga 1902, untuk menjamin hal tersebut ditetapkan pemisahan antara agama dan negara. Diikuti kebijakan yang lainnya pada 2004 yang secara spesifik melarang penggunaan simbol agama di ruang publik, khususnya di lingkungan sekolah dan instansi pemerintahan lainnya.
Sementara itu, Turki sebagai negara mayoritas muslim justru sejak 1980 melarang penggunaan hijab. Kemudian diikuti dengan kebijakan pelarangan penggunaan hijab di sekolah pada 1997. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh regulasi penghapusan segala simbol yang dipandang bertentangan dengan upaya menampilkan Turki sebagai negara yang sekuler dan modern oleh Mustafa Kemal Ataturk. Kemudian dalam kurun waktu enam tahun di bawah pemerintahan Recep Tayyip Erdogan, Turki membatalkan kebijakan pelarangan penggunaan hijab secara spesifik di universitas pada 2011, dan di institusi negara pada 2013.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, polemik penggunaan hijab tampaknya jauh lebih dinamis. Dalam konteks politik, isu terkait hal ini tampak tidak menjadi tema pergulatan. Bahkan di saat serangan teroris muncul pun, nyaris masyarakat tak memandang perbedaan gaya berpakaian sebagai hal krusial untuk dibincangkan. Masing-masing tampak asyik dengan pilihannya. Otoritas pribadi dan kelompok keagamaan menjadi lebih menonjol. Dalam hal ini, pengaruh dari lingkungan dan konsep keagamaan yang diyakini sangat mempengaruhi cara muslimah menampilkan diri. Mulai dari gaya berhijab "jilbob" hingga gaya syar'i yang menjadi tren beberapa tahun terakhir.
Kesantunan
Dalam Islam, berpakaian menjadi bagian dari refleksi kesantunan (haya) yang didadasarkan pada keyakinan nilai-nilai agama. Abdessamad Belhaj, seorang sosiolog dari Université Catholique de Louvain, Belgia menyatakan bahwa hampir seluruh perempuan yang berhijab dimotivasi oleh agama. Bagi mereka hal ini dipandang penting karena dapat menjadi agen moral. Di samping itu, keterlihatannya dapat menjadi karakter pembeda di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu sumber etika moral yang dijadikan rujukan di antaranya adalah al-Quran Surat ke-24 ayat 30-31 yang berisi petunjuk bagi umat muslim untuk selalu mengontrol pandangan dan kesuciannya, menjaga tubuh, dan tidak menonjolkan perhiasan (khususnya perempuan) dari pandangan orang lain kecuali suami dan keluarga dekatnya (muhrim). Aturan ini berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Kemudian dia melanjutkan dengan mengutip Ensiklopedia Hukum Islam (al-Mawsu'a al-fiqhiyya) bahwa kesantunan ini mengatur situasi etis yang berbeda-beda. Di antaranya adalah bagi seseorang yang berniat melakukan tindakan dosa, korban dari sebuah serangan, dan seseorang yang dimintai keterangannya di depan hukum. Situasi-situasi tersebut adalah kondisi di mana seseorang harus mampu mengendalikan dirinya, berani untuk menjauhkan diri dari kejahatan/keburukan tanpa mempertimbangkan kesantunan dan memerintahkan diri untuk hal yang baik sesuai dengan kesantunan.
Di sisi yang lain, ketika menghadapi seseorang yang tidak adil, dan yang melakukan dosa maka kesantunan tidak ditampilkan, tegas lebih ditonjolkan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perintah untuk melakukan kebaikan dan larangan atas tindakan kejahatan. Berdasarkan uraian tersebut jelas, cara berpakaian hanya bagian kecil dari reprsentasi kesantunan (modesty/la pudeur) atas dasar agama. Dalam hal ini yang menjadi tujuan utama bukan hanya pada kain penutup tubuhnya. Tapi, pada perilaku yang ditampilkan.
Selain itu, dalam realisasinya konsep kesantunan itu mendorong seseorang untuk tegas dengan berbagai kemungkinan perilaku buruk yang dihadapinya. Menjadi asertif yaitu berani berkata tidak untuk sesuatu yang buruk. Namun, realisasi nilai etika Islam dalam konteks perilaku (akhlak) ini tampaknya tidak lebih menarik untuk dibicarakan. Justru pakaian yang lebih sering menjadi pembincangan dan perdebatan. Lebih spesifik lagi, pakaian wanita.
Keberagamaan Terkait berpakaian, refleksi umat dalam memahami konsep tentang menjaga tubuh berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya. Dalam sebuah catatan raportase, wartawan dari BBC George Lantze dan wartawan dari Le Soir Ricardo Gouterrez memaparkan berbagai varian cara muslimah menutup tubuhnya.
Pertama adalah hijab. Kata hijab berasal dari bahasa arab untuk menunjukkan kerudung yang digunakan dangan berbagai jenis, warna, dan gaya. Biasanya berbentuk segi empat yang digunakan hingga ke bahu, namun tidak menutup wajah. Kedua adalah shayla, yaitu kain persegi panjang yang digunakan dengan menutup kepala lalu melilitkannya di sekiar pundak. Ketiga adalah khimar, yaitu penutup kepala yang lebih panjang hingga ke lengan. Menutupi kepala, bahu, hingga ke dada dan tidak menutupi wajah. Keempat adalahchador. Varian ini lahir sebagai pakaian tradisional muslimah taat di Iran yang menutup kepala hingga seluruh tubuh. Mereka menggunakannya sebagai kain penutup ketika mereka keluar rumah.
Kelima adalah niqab, yaitu kain yang menutupi hampir seluruh tubuh dan meninggalkan sedikit bagian muka di sekitar mata. Jenis ini dipengaruhi oleh Islam Wahabi di Arab Saudi. Keenam adalah burqa, yaitu varian yang menutupi keseluruhan tubuh, termasuk bagian muka, dengan memberikan sebagian kain tipis di bagian mata yang memungkinkan muslimah untuk melihat ke luar. Pakaian ini yang secara tradisional digunakan di Afganistan dengan warna khusus, biasanya biru, marun, atau hitam. Dan, terakhir adalah jilbab, yang paling banyak dikenal di Indonesia, yang memiliki signifikasi lebih dekat dengan hijab.
Tampak bahwa sehelai kain di tubuh perempuan di berbagai belahan negara memiliki latar belakang dan signifikasi bahkan identitas yang berbeda. Namun, khususnya di negara mayoritas non-muslim, seperti yang disampaikan oleh Noha Sadek pada 2017 bahwa peristiwa 9/11 telah menjadikan umat Islam di seluruh dunia masuk ke satu kotak yang sama (monovalent identity profile). Meskipun, belakangan persoalan lebih ditekankan pada penutup sebagian atau keseluruhan muka yaitu niqab dan burqa.
Dalam hal ini, konsep tentang refleksi keberagamaan tidak menjadi pertimbangan. Karena di ruang publik, identitas ini menjadi stereotip yang melekat pada sebuah agama yang bernama Islam, dan pada sebuah kain yang dipakai secara beragam cara. Yang bahkan belum tentu pemakainya adalah seorang muslim.
Sementara di Indonesia, baru beberapa waktu belakangan persoalan ini menjadi ramai dibincangkan terkait dengan kebijakan pelarangan di salah satu Universitas Islam di Indonesia. Kebijakan yang pada akhirnya berakhir pada pembatalan. Lebih dari itu, selain persoalan kesaksian di ruang persidangan tampaknya tak ada polemik lain yang menarik perhatian publik terkait jenis pakaian ini.
Ruang Publik
Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa ruang publik di Eropa memang sangat berbeda dengan ruang publik di Indonesia. Untuk konteks Eropa, isu fundamentalisme, radikalisme, dan Islamofobia menjadi bagian yang tidak dapat lepas dari kebijakan yang disusun dengan dalih keamanan. Terlepas dari sisi negatifnya, satu hal yang sewajarnya dihargai adalah tujuan agar ruang publik tidak menjadi ajang pertikaian identitas yang dapat menyulut perseteruan. Ruang publik yang mereka isi dengan semangat laïcité dan neutralité. Semangat yang muncul dari ide memisahkan agama dari kehidupan politik (sécularité).
Bagaimana merealisasikan hal ini dalam suatu komunitas masyarakat yang majemuk? Perlu dicermati bahwa di beberapa negara di Eropa masih ada kencenderungan upaya untuk melakukan asimilasi. Tampaknya, sebagian masyarakat Eropa masih sulit menerima kondisi multi-budaya yang sudah tumbuh sejak lama. Sehingga cenderung memaksakan para imigran untuk meninggalkan budaya asal, dan harus menerima budaya baru di tempat yang baru. Berbagai riset telah dilakukan, dan membuktikan kondisi ini memberikan dampak terhadap kondisi psikologis bahkan justru menyulut tindakan radikal sebagai bentuk perlawanan.
Adapun ruang publik di Indonesia adalah ruang publik yang lahir dari semangat nilai-nilai Pancasila dengan semboyan negara Bhineka Tunggal Ika. Semangat persatuan yang memang lahir dari perbedaan. Beragam budaya berintegrasi tanpa harus meninggalkan jati diri masing-masing. Namun demikian, perlu dipahami juga bahwa dalam situasi seperti ini superioritas mayoritas terhadap minoritas tetap tidak dapat dihindari. Sehingga, ada atau tidaknya sehelai pakaian akan menjadi polemik ketika hal tersebut dipandang asing atau bertentangan bagi sebagian besar kelompok mayoritas.
Oleh sebab itu, menurut Silvio Ferrari dalam artikelnya yang berjudul Religion in Public Spaces: A European Perspectiveadalah hal yang sangat penting untuk membangun kembali makna ruang publik dengan memberikan batasan antara dimensi personal dan dimensi spasial yang dikaitkan dengan ruang umum, ruang politik, dan ruang institusional. Dengan demikian, kita dapat memahami dalam dimensi apakah dan di dalam ruang yang mana identitas tersebut muncul. Dalam hal ini, wacana yang dibangun lepas dari unsur isu agama, ras, dan golongan tertentu. Dan, lebih menekankan pada membangun wacana bersama untuk menemukan jalan keluar yang baik untuk semua. Sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian lebih netral dan objektif.
Merenungkan Kembali
Pakaian hanya sebagian dari ekspresi kesantunan berdasarkan agama. Di dalamnya terdapat berbagai nilai bahkan pengalaman pribadi yang tidak mungkin lepas dari perjalan hidup pemakainya yang realisasinya dijamin dan dilindungi oleh negara. Namun demikian, dalam kehidupan bernegara hak personal selalu dibatasi oleh kewajiban yang lain yang juga tidak dapat ditinggalkan. Seperti yang diuraikan di atas, kesantunan pun dalam kasus-kasus tertentu tidak dapat ditampakkan terutama ketika menghadapi kewajiban seperti bersaksi di persidangan, misalnya.
Lepas dari itu semua, merenungkan kembali esensi dari ekspresi kesantunan melalui pakaian dalam bentuk perilaku tampaknya justru lebih penting untuk sering dibicarakan. Karena pada akhirnya tak ada guna menutup tubuh rapat bila jiwa tak juga mampu menahan tubuh dari berbuat maksiat. Dan, aturan berpakaian tidak hanya untuk perempuan, bukan?
Comments